Memberikan ilmu pada seseorang termasuk amal jariyah yang bisa kita tinggalkan saat kita telah berada di alam barzah. Jika menjadi dosen adalah salah satu bentuk kebermanfaatan, maka menulis pun demikian.
Aku memang bercita-cita menjadi dosen PNS dan berusaha keras mewujudkannya sejak tahun 2005. Namun saat Allah tak berkehendak, aku bisa apa?
Tahun 2017, aku pernah merasa menjadi manusia yang useless. Takdir yang kualami saat itu benar-benar membuatku tenggelam berada di titik bawah.
Cita-citaku menjadi dosen PNS tak kesampaian.
Aku resign sebagai dosen di kampus swasta.
Aku putar haluan jadi ibu rumah tangga.
Dan akan segera berpindah ke Jepang, negara self service tanpa asisten rumah tangga.
Useless sekali rasanya. Tidak ada kegiatan berarti. Tidak ada kesempatan lagi untuk bercuap-cuap di kelas bersama mahasiswa. Tidak ada lagi menulis jurnal dan artikel di conference. Atau hanya sekedar bertemu kawan satu profesi untuk berdiskusi pun tak ada.
Sampai, aku bertanya pada suamiku, “Pa, aku besok ngapain kalau ke Jepang?”
“Ya Mama sekolah juga,” jawabnya santai.
Kaget aku dengan jawaban beliau. Sekolah apa? PhD maksudnya?
“Sekolah kehidupan, Ma. Akan ada banyak hal yang Mama pelajari di Jepang.”
Saat itu aku belum kepikiran untuk menulis. Aku baru sampai tahap merenung atas apa yang telah kualami selama di Jepang dan moment sebelum pindah ke Jepang. Bahkan media sosial IG pribadi untuk sekedar mencoret-coret pun, aku tak punya kecuali IG online shop yang aku kelola untuk berjualan buku dan baju.
Awalnya memang jualan ini jadi aktivitas yang aku pilih untuk mengisi kegiatan pasca aku resign. Di dalam prosesnya, aku juga menulis konten promosi barang yang aku jual. Aku menjual pakaian muslim juga buku anak. Tentu untuk promosi, aku harus banyak bercerita manfaat dari buku anak tersebut, juga ya terkadang membuat konten ringan seputar ke-islam-an, one day one ayat, misalnya.
Saat dapat testimoni dari customer yang mengharukan, aku baru merasa aku tak useless. Tips parenting yang aku bagikan dirasa berguna bagi pembaca. Atau saat ada notifikasi postingan dakwah ala-ala di toko online-ku ada yang membagikan, maka barulah aku sadar, ada gunanya juga aku posting.
Sampai akhirnya selama di Jepang, selain berjualan tadi, aku juga menemukan banyak fakta menarik di kehidupan masyarakat Jepang. Loh kok gini? Eh kok beda ya sama di negara asalku?
Fakta menarik itu awalnya hanya aku pikirkan dan pendam saja, makin lama penuh juga di otak. Kemudian aku memberanikan diri menulis di facebook untuk meringankan beban otak dan mengurangi jiwa over-thingking yang aku miliki. Kadang aku tulis juga di blog, yang juga sebagai media aku jualan.
Empat bulan di Jepang, tulisan aku di facebook dibagikan banyak orang. Ternyata greget juga menulis fakta-fakta yang ada di Jepang, apalagi ada “tamparan” dalam tulisan aku. Tema ter-viral saat itu adalah tentang makan pare di menu sekolah Jepang. Pare yang pahit bisa ludes tak bersisa dimakan anak seusia SD. Sangat kontras dengan gaya pengasuhan sebagian besar ibu-ibu di Indonesia yang tidak akan membiarkan anaknya makan yang pahit.
Ini link tulisan di facebook yang aku maksud.
Sampai suatu ketika aku merenung, sudah saatnya pindah tempat, nih. Cari tempat yang cocok untuk mengutarakan sesuatu. Jangan sampai salah tempat. Cari yang legal. Menulis buku jawabannya. Valid. Teruji.
Aku teringat saat masih menjadi dosen, menulis jurnal di conference diikuti orang satu profesi yang akhirnya terjadi diskusi yang membangun. Tulisan yang berujung pada diskusi pengembangan keilmuwan. Dari situ aku berpikir gimana kalau pengalaman selama di Jepang jadi buku saja, bukan hanya jadi postingan di sosmed sehingga tulisan bisa berdampak pada banyak orang. Aku mulai menulis ide naskah. Jalan terbuka bertemu 30 Days Writing Challenge.
Sampai akhirnya aku menyimpulkan. Ah, enggak apa-apa tidak jadi dosen lagi. Menulis adalah gantinya. Ada proses yang sama antara penulis dan pengajar di kampus. Proses menemukan ide, proses berpikir, proses menyampaikan ide, dan seterusnya.
Jadi ya, “Tulislah apa yang akan membahagiakanmu di akhirat,” rasanya sudah sangat cukup bagiku sebagai penulis yang sedang meniti debutnya. Semoga profesi ini bisa terus berlanjut, hingga aku bisa menggali tema-tema lain usai buku solo pertamaku terbit.
Allah memang tak pernah salah menempatkan hamba-Nya. Aku saja yang sok tau saat tahun 2017 itu, merasa menjadi manusia paling menderita saat keinginan tak kesampaian, padahal hanya keinginan dunia saja. Nyatanya Allah beri ganti pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah saja tanpa harus mengganggu kewajibanku sebagai istri dan ibu.
“Allah tak pernah meninggalkan hamba-Nya. Pengorbanan yang diikuti keikhlasan akan selalu berbuntut anugerah Allah yang luar biasa.”
Aku memutuskan untuk meninggalkan karier sebagai dosen dan ikut suami ke Jepang untuk melanjutkan impian. Aku semakin sadar diri untuk melebur mimpi pribadi menjadi mimpi bersama.
Aku terus dibimbing oleh-Nya menemukan jalan lain lewat menulis. Justru dari sini lah aku merasa semakin bersyukur. Jika dulu aku mengutuk diri saat gagal menjadi dosen PNS, “Allah, aku kurang apa?” Kini aku tak lagi demikian. Berbalik malah, “Terima kasih Allah, aku tidak mengemban amanah berat sebagai dosen PNS, karena aku bisa semakin dekat dengan keluarga.” Ya, aku bisa menemani suami dan anak-anak kemana pun sambil tetap menulis.
Sebuah privilege yang tak pernah aku duga akan diberikan oleh Allah. Aku memang sok tahu, mengira bahwa karier dosen adalah yang terbaik bagiku. Allah tentu lebih tahu seberapa kemampuan yang aku miliki. Baru mengurus rumah saja, aku sudah kecapekan. Bagaimana jika aku harus berdinas di luar? Tak terbayangkan akan seperti apa kehidupan rumah tangga dengan sosok ibu yang sudah lelah di luar.
Terima kasih Allah, atas segala petunjuk-Mu, menunjukkan jalan menjadi seorang penulis. Aku dulu memang buta dan tidak peka. Jalan terjal menjadi dosen terpampang nyata, tapi masih kekeuh juga.
Sekarang aku bisa melihat jalan terang sebagai penulis dengan hanya bekerja di rumah saja. Dan yang paling utama, tugasku sebagai istri dan ibu tak perlu kutinggalkan. Aku akan terus sepeti itu, menggali ide, menemukan fenomena baru, meramu menjadi kata-kata, dan menerbitkannya sebagai karya yang bermanfaat. Semoga Allah rida.