japanalivestory

Berburu Komunitas Muslim

Fukuoka, 28 Mei 2019

Sore itu langkah kaki saya percepat menuju Hakozaki. Ada rasa tak sabar ingin segera bertemu saudara muslim yang sedang tinggal di Fukuoka. Dari apato, saya bersepeda menuju Stasiun JR Kasuga. Jaraknya hampir 1.5 kilometer dari apato dengan jalan yang menanjak. Usai tiba di JR Kasuga, sepeda saya parkirkan. Demi menghemat energi, saya memilih naik lift meski harus sedikit lebih lama dibandingkan naik tangga.

Tiket kereta menuju Hakozaki sudah ada di tangan. Nantinya saya akan melewati sebanyak lima stasiun sebelum sampai di stasiun pemberhentian dekat masjid. Dari Kasuga, lalu melewati Minami Fukuoka, Sasabaru, Takeshita, Hakata, Yoshizuka, dan terakhir Hakozaki Station. Dari balik jendela, saya mengamati pemandangan, sambil menyaksikan beberapa orang Jepang yang kadang ada yang sedang makan. Adalah godaan di bulan Ramadan, melihat orang lahap makan sementara perut saya keroncongan.

Berpuasa di negeri minoritas muslim bisa jadi tantangan tersendiri. Tidak banyak orang di sekitar yang berpuasa. Jadi ya bisa dikatakan saya berpuasa dalam keadaan sunyi. Selama di Jepang, saya harus membiasakan diri beribadah dalam kesunyian. Sunyi dalam arti sesungguhnya. Tidak ada tetangga muslim, hanya keluarga yang menemani dan menguatkan.

Di kesunyian itu, saya menemukan sesuatu. Bahwa dalam urusan ibadah kepada-Nya, terutama puasa, mau dilakukan dalam kesunyian maupun keramaian, tetaplah tujuannya sama, yaitu meraih takwa. Ya, puasa mau sunyi atau ramai, tujuannya tetap sama, yaitu meraih takwa.

Dalam situasi sunyi ramadan di Jepang, mau makan di siang hari ya tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada rasa sungkan jika ada manusia yang melihat, toh orang Jepang tak banyak yang paham apa itu ramadan. Meski di Jepang ribuan manusia tak memperhatikan, tetap ada satu Yang Maha Esa, yang akan selalu mengawasi tingkah laku kita. Saya mau makan dengan sembunyi pun Allah Maha Tahu. Maka berpeganglah selalu pada iman agar kuat dalam situasi kesunyian itu.

Kereta JR Kagoshima Line yang saya tumpangi sudah tiba di Stasiun Hakozaki. Saya bergegas menuju masjid yang masih 300 meter lagi dengan berjalan kaki. Sesampainya di teras masjid, saya meletakkan sepatu lalu menaiki tangga menuju lantai dua tempat jamaah wanita. Saat itu sudah masuk waktu asar. Terlihat beberapa orang berperawakan Arab dan ada yang putih seperti bule. Saya tersenyum. Mereka mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”

Ucapan salam adalah bahasa universal. Jika kita bertemu orang muslim yang berbeda suku bangsa dengan kita, ucapkanlah salam. Salam itulah bahasa yang paling mudah.

Tak lama, tampak gerombolan orang berkulit hitam datang. Sepertinya dari Afrika. Mereka pun tersenyum dan mengucapkan salam. Lantas beranjak menuju tempat mengambil air wudu.

Bagi saya, berada di masjid yang berisi aneka ras dan suku bangsa, ada rasa berbeda. Seperti berada di Mekah, melaksanakan ibadah haji, bertemu dengan hamba Allah dari seluruh dunia.

Wanita bule yang tersenyum pada saya tadi, ternyata berasal dari Kazakhtan. Bahasa Inggrisnya lancar, sehingga saya bisa berbincang cukup lama dengannya. Beliau sedang mengikuti kelas bahasa di salah satu universitas di Fukuoka. Masjid Fukuoka menjadi langganan beliau berbuka bersama komunitas muslim, sebab bila berbuka sendiri di apato, beliau malah merasa tak nyaman. Memang ada tantangan lebih bila berada di tanah rantau tanpa membawa keluarga. Semua hal akan dilakukan sendiri. Maka bergabung dengan komunitas muslim di masjid seperti inilah, seorang perantau akan menemukan keluarga baru yang siap menemani.

Waktu berbuka masih dua jam lagi. Terdengar banyak wanita menaiki tangga menuju lantai tiga. Pastilah mereka sedang mempersiapkan berbuka bersama, kegiatan rutin yang dilaksanakan Masjid Fukuoka selama ramadan. Ada jadwal piket yang disusun bergantian untuk mempersiapkan buka bersama. Misalnya saja, minggu pertama piket dilakukan oleh komunitas Arab. Minggu kedua piket dilakukan oleh komunitas Pakistan-India. Minggu ketiga dilakukan oleh komunitas Indonesia-Malaysia. Begitu seterusnya hingga minggu keempat ramadan usai.

Tugas kelompok komunitas yang sedang piket itu mempersiapkan seluruh menu berbuka. Ada yang unik di sini, bahwa jamaah pria lah yang bertugas memasak aneka menu tersebut. Sedangkan jamaah wanita tinggal mengambil masakan yang sudah matang. Saya jadi ingat sebuah nasihat bahwa wanita sesungguhnya di Islam sangat dimuliakan. Pada dasarnya seluruh kebutuhan rumah tangga sebenarnya ditanggung oleh suami. Ibaratnya istri tinggal menikmati tanpa perlu bersusah payah memasak makanan.

Memang, dalam masyarakat telah tertanam kuat bahwa tugas istri dalam keluarga identik dengan kegiatan rumah tangga, misal memasak dan mencuci. Kewajiban lain adalah terkait dengan tugas mengasuh dan membesarkan buah hati. Tetapi, tugas istri dalam Alquran ternyata tak hanya seputar aktivitas domestik.

Ustaz Adi Hidayat menjelaskan, tugas istri telah dijelaskan dalam firman Allah dan wajib dilaksanakan. Ada dua tugas pokok istri di dalam Alquran surat keempat ayat 34.

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajiban sebagai istri), hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisa ayat 34)

Sesuai ayat tersebut, Ustaz Adi Hidayat menjelaskan tugas istri yang pertama adalah taat pada Allah. Ketaatan diwujudkan dengan patuh pada suami untuk segala hal yang baik. Ustaz Adi Hidayat mencontohkan permintaan suami pada istri yang wajib dilaksanakan adalah mengenakan hijab, menunaikan salat, menghadiri taklim. Jika suami meminta hal yang tidak baik maka istri boleh menolak dengan cara yang halus. Misalnya saja suami meminta untuk untuk melepas hijab dikarenakan malu di lingkungan kantornya tak ada wanita yang memakai hijab. Maka istri bisa menolak dengan halus. Perintah tersebut jelas telah melanggar syariat Allah.

Tugas kedua istri sesuai Surat An-Nisa adalah menjaga nama baik keluarga terutama suami, apalagi ketika sedang tidak bersama. Tugas menjaga nama baik suami dan keluarga harus dilakukan setiap saat di semua tempat.

Dengan penjelasan ini, semoga tugas istri tak lagi dipandang remeh. Tugas istri dalam Alquran sesungguhnya bukan seputar memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Tetapi bila istri rida melakukannya, pahala menanti dirinya.

Lewat acara buka bersama komunitas muslim inilah saya kembali diingatkan Allah. Sejatinya tugas memasak adalah milik suami (pria). Di lantai basement untuk jamaah pria, terdapat dapur besar lengkap dengan peralatan memasak. Ada panci yang sangat besar untuk memasak. Sedangkan dapur untuk jamaah wanita hanya berisi peralatan sederhana sekadar untuk mempersiapkan makanan.

Sore itu jamaah pria sibuk mondar mandir dari masjid menuju Gyomu Supermarket yang lokasinya di bawah Stasiun Hakozaki. Supermarket Jepang lokal yang menyediakan aneka bahan makanan halal. Ada ayam fillet berlabel halal, roti canai berlabel halal, dan aneka snack yang memudahkan para muslim. Kehadiran Gyomu Supermarket membawa angin segar bagi komunitas muslim. Kami bisa berbelanja makanan halal sembari beribadah di Masjid Fukuoka.

“Sungguh rahmat Allah akan selalu hadir di mana pun kita berada, maka janganlah berputus asa.”

Menu yang disajikan dalam buka bersama Masjid Fukuoka seringnya adalah nasi rempah seperti biryani. Ada beberapa snack khas masing-masing negara, seperti bakwan yang biasanya dihadirkan oleh komunitas Indonesia. Lewat acara berbuka ini, saya jadi tahu jika di Pakistan juga ada sejenis bakwan yang berbumbu kari.

Untuk menu takjil, dihadirkan buah, kurma dan roti. Snack yang saya sebut terakhir ini sempat membuat saya terharu saat memakannya. Bayangkan sejak Maret awal kedatangan di Fukuoka, saya tidak pernah mengudap roti karena takut dengan status kehalalan roti Jepang yang beredar. Di akhir Mei, saya diberi Allah roti halal yang disuguhkan oleh seorang Ibu asal Indonesia. Beliau pandai membuat roti bahkan membuka pre order jika ada yang memerlukan. Lewat acara buka bersama komunitas muslim inilah saya banyak mendapat pencerahan tentang makanan Jepang mana saja yang bisa dikonsumsi oleh muslim.

Di Jepang, sebagai seorang muslim harus berhati-hati dengan makanan. Allah memerintahkan kita untuk mengkonsumsi makanan yang halal. Orang Jepang bukan muslim, maka makanan yang mereka olah perlu kita waspadai asal bahan makanannya. Roti, misalnya. Kita perlu memperhatikan mentega yang digunakan apakah berasal dari bahan hewani atau nabati. Jika bahan hewani, tentu harus disembelih sesuai syariat. Jika bahan nabati, maka lebih aman kita konsumsi sebab berasal dari tumbuhan.

Tiga puluh menit sebelum azan magrib berkumandang, jamaah pria memanggil jamaah wanita bahwa makanan telah siap. Kami pun berjejer estafet untuk menerima makanan dari lantai basement, kemudian dibawa ke lantai tiga.

Bahagia saya rasakan, makan bersama saat berbuka seperti saat masih di tanah air dulu. Jika apa yang kita inginkan belumlah dapat terwujud, maka ciptakanlah sesuatu yang mirip dengan apa yang kita inginkan agar kebahagiaan dapat menyelimuti kita. Sama halnya, ketika berada di lingkungan orang Jepang, tak saya temukan suasana ramadan, maka ciptakanlah suasana itu bersama komunitas yang sekufu.

Kehadiran komunitas muslim sungguh telah menguatkan para perantau. Tinggal di negeri minoritas muslim bukanlah halangan. Dengan berburu komunitas muslim, kami seperti menemukan keluarga baru.

Standard
japanalivestory

Cahaya dari Kyushu

Tahun 2019 menjadi ramadan tahun pertama yang saya jalani di negeri minoritas muslim. Negeri yang terkenal sebagai julukan negeri matahari terbit. Belum pernah terbayang dalam benak saya bagaimana beribadah sebagai seorang muslim yang menjadi warga minoritas. Sebelumnya, Islam agama yang saya anut menjadi pemeluk terbesar di Indonesia. Saya merasa aman karena banyak teman. Sekarang di Jepang, saya sebagai muslim harus lebih mawas diri karena “sendiri”. Sendiri dalam tanda kutip karena memang tidak banyak orang muslim di sekitar saya.

Lingkungan di sekitar saya semuanya orang Jepang. Di apato (sebutan apartemen untuk di Jepang) yang saya tinggali, bertetangga dengan orang Jepang nonmuslim. Tidak seperti dahulu di Indonesia. Sebelah kanan, kiri, depan dan belakang rumah adalah pemeluk Islam. Menuju masjid pun tinggal ke gang belakang. Berkebalikan di Jepang, jarak apato dengan masjid kurang lebih delapan kilometer ditempuh dengan kereta.

Masjid di propinsi Fukuoka yang saya tinggali hanya ada satu. Terletak di wilayah yang bernama Hakozaki. Saya sadar diri bahwa untuk bisa hidup sebagai seorang muslim, maka saya harus menemukan keberadaan sebuah masjid. Bukankah jika merunut pada sejarah, masjid di zaman Nabi dibangun tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai pusat peradaban?

Bila mengacu pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, masjid menjadi pusat aktivitas umat Islam. Ketika itu Rasulullah saw membina para sahabat yang nantinya menjadi kader tangguh dan terbaik umat Islam generasi awal untuk memimpin, memelihara, dan mewarisi ajaran-ajaran agama dan peradaban Islam yang bermula dari masjid (Ahmad Putra dan Prasetio Rumondor dalam Jurnal UIN Mataram). Di zaman itu, masjid dipergunakan sebagai tempat musyawarah menyelesaikan persoalan umat dan pusat pendidikan. Maka, lewat masjid itu pula, saya yakin menemukan komunitas muslim. Siapa lagi yang bisa menjaga keimanan jika bukan diri sendiri dan bergabung dengan orang yang sekufu.

Saya teringat sebuah lagu gubahan yang berjudul Tombo Ati. Lagu tersebut menggambarkan dengan jelas lima nasihat untuk seorang muslim. Salah satu nasihatnya, bahwa kita diwajibkan berkumpul dengan orang saleh. Penyanyi Opick sukses membawakan lagu yang asalnya dari tembang Jawa ciptaan Sunan Bonang. Lima abad telah berlalu, tembang ini masih menempati posisi favorit, dan telah banyak diadaptasi di era masa kini. Tentu dengan terjemahan Bahasa Indonesia. Untuk memperjelas, berikut cuplikan Tombo Ati beserta artinya.

Tombo ati iku limo perkarane
(Obat hati itu ada lima perkara)

Kaping pisan moco Quran lan maknane
(Pertama, mengaji AlQuran berikut maknanya)

Kaping pindo sholat wengi lakonono
(Kedua, mendirikan salat malam)

Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
(Ketiga, berkumpul dengan orang saleh)

Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
(Keempat, memperbanyak berpuasa)

Kaping limo zikir wengi lingkang suwe
(Kelima, memperbanyak zikir malam)

Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
(Siapa yang bisa menjalani satu di antaranya)

Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
(Semoga Allah mencukupi)

Nasihat ketiga sangat pas ditujukan kepada siapa pun yang sedang berada di negeri minoritas muslim. Setiap diri kita perlu mencari pendukung agar bisa menjalani peran sebagai muslim di negeri minoritas. Komunitas muslim menjadi salah satu pendukungnya. Sejatinya, “Manusia itu laksana sekawanan burung, memiliki naluri untuk berkumpul. Berkawan dengan orang saleh membawa dampak yang baik, karena kawan itu akan saling memengaruhi.”

Bulan Mei 2019, awal mula ramadan di Fukuoka, saya merasa yakin dapat menemukan komunitas muslim yang telah lama saya incar. Dengan berada di masjid, pastilah saya menemukannya. Bertepatan dengan acara buka bersama yang selalu diadakan oleh masjid, saya menghadirinya. Dari acara tersebut, saya berkenalan dengan seorang ibu asal Indonesia yang pandai membuat aneka roti halal. Ada juga perempuan muslim asal Kazakhstan yang sedang belajar bahasa Jepang. Bagian paling menyentuh, saat saya mengetahui ada pasangan Japanese di Fukuoka yang menjadi mualaf.

Tak hanya berbincang, saya pun turut memperhatikan setiap bagian pada bangunan Masjid Fukuoka. Bangunan di lantai pertama digunakan untuk jamaah pria. Sedangkan jamaah wanita, berada di lantai dua. Lantai tiga terdapat ruang kelas seperti aula dan dapur kecil untuk jamaah wanita. Sementara di lantai basement terdapat perpustakaan, aula serbaguna dan dapur besar lengkap dengan peralatan memasak untuk jamaah pria.

Saya terkesima dengan ruang kelas yang ada. Ruang kelas di Masjid Fukuoka lebih banyak dipergunakan untuk nonmuslim. Nonmuslim dapat memasuki masjid untuk menonton salat, atau bahkan berdiskusi tentang Islam jika mereka tertarik. Ternyata banyak juga orang Jepang yang tertarik dengan Islam, maka masjid lah yang bertugas melayani orang-orang tersebut.

Tujuan utama Masjid Fukuoka adalah untuk melayani kepentingan masyarakat muslim area Kyushu. Masjid mengatur dan mengadakan salat berjamaah dan kegiatan keagamaan. Selain itu, masjid juga membuat informasi tentang Islam yang mudah dipahami bagi orang Jepang. Banyak kegiatan masjid yang dapat diikuti oleh muslim dan nonmuslim, seperti kelas memasak makanan halal, seminar dan sesi dialog sesekali.

Tak hanya itu, Masjid Fukuoka juga menggelar pernikahan untuk muslim, juga membantu orang-orang Jepang menjadi mualaf dan mengucapkan syahadat. Untuk pengurusan jenazah muslim pun, masjid ini juga menyediakan sarana tersebut.

Di akhir pekan, masjid menawarkan pelajaran bahasa Arab, belajar membaca Alquran, dan menghapal surat pendek untuk anak-anak. Masjid Fukuoka juga melayani penerbitan sertifikasi halal pada makanan. Beberapa kedai khas Jepang yang berada di Fukuoka, sebagian telah memperoleh sertifikat halal dari Masjid Fukuoka. Pantaslah masjid menjadi pusat pendidikan seperti yang telah Rasul ajarkan. Perannya tak hanya sebagai sarana ibadah, tetapi juga edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat.

Masjid Fukuoka memiliki nama lengkap Al Nour Islamic Center. Adalah masjid pertama di pulau Kyushu yang selesai dibangun tahun 2009, lebih tepatnya resmi dibuka pada 12 April.

Awal mulanya, himpunan mahasiswa Kyushu University Muslim Student Association (KUMSA) memprakarsai ide pembangunan masjid pada tahun 1998. Di tahun itu KUMSA bergerak mengumpulkan sumbangan dana dari Jepang dan luar Jepang. Pada tahun 2006, tanah berhasil dibeli. Setelah serangkaian diskusi dan perizinan, pembangunan dimulai tahun 2008. Setahun setelahnya, selesailah bangunan masjid yang lokasinya berjarak 300 meter dengan Stasiun JR Hakozaki. Hanya lima menit berjalan kaki dari pintu keluar barat stasiun. Lokasinya sangat strategis bukan?

Masjid Fukuoka berhasil menjadi cahaya di Pulau Kyushu. Benar adanya bahwa nama adalah doa. Di dalam Islam, nama bukan sekadar penanda. Nama adalah doa bagi diri dan kehidupannya. Seperti kata Al Nour yang tersemat pada nama Masjid Fukuoka, bermakna cahaya. “Nour” adalah “Cahaya”. Diharapkan Masjid Fukuoka dapat memberikan pencerahan tentang Islam kepada masyarakat Jepang di Pulau Kyushu. Masjid Fukuoka berhasil menjembatani dan mencerahkan masyarakat Fukuoka khususnya, baik muslim maupun nonmuslim.

Standard
japanalivestory

Rekomendasi Film untuk Keluarga

Film yang direkomendasikan sama suami buat ditonton bareng sekeluarga. Dari judulnya saja, saya udah antusias. Seperti berkaca pada keluarga sendiri, berkisah tentang perjuangan.

Survival Family The Movie

Awal mula, keluarga ini hidup “normal”. Ya layaknya keluarga metropolitan Tokyo. Ayah bekerja keras, ibu mengurus rumah, anak belajar di sekolah. Namun, keluarga ini kurang dalam hal kedekatan. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan gadget dan game. Hingga suatu saat listrik di Tokyo mati total. Tak tahu akan menyala kapan lagi.

Kehidupan berubah drastis. Dari yang serba pakai listrik, menjadi  manual. Anak tidak pakai gadget, ibu tak lagi menggunakan kompor listrik dan tak bisa berbelanja makanan jadi. Kereta mati total. Pilihan hanya dua : berjalan kaki atau bersepeda.

Masyarakat metropolitan Tokyo memilih kembali ke kampung halaman masing-masing. Keluarga ini kembali ke Kagoshima, ujung selatan pulau Kyushu. Gimana perjuangan mereka? Tonton aja di sini.

Bagus buat merenung, bila saja kehidupan di bumi tanpa listrik dan kembali pada kehidupan tradisional. Siap kah?

Dari film ini diajarkan bahwa, “kemewahan tak bisa mengenyangkan.”

Standard
japanalivestory

Kemandirian Anak Jepang yang Bisa Kita Adaptasi

Memiliki anak yang mandiri tentu membahagiakan.

Apakah kemandirian hanya dalam konteks membiarkan anak melakukan apa-apa sendiri? Tidak, Bunda.

Melatih disiplin, konsekuensi, paham dan taat aturan termasuk juga dalam kemandirian. Tentu saat membiarkan anak berlatih kemandirian, tetap harus dalam pengawasan.

Beberapa tahun tinggal di Jepang, saya mengamati fenomena unik. Tentang kemandirian anak Jepang yang sudah ditanamkan sejak kecil.

Semua ini terbentuk pastinya tak luput dari sistem lingkungan yang kondusif juga peran sekolah yang turut mendukung.

Berjalan kaki menuju sekolah tanpa diantar orang tua adalah hal yang biasa. Membersihkan ruang kelas setiap hari bersama teman & sensei juga merupakan pemandangan sehari-hari. Mengapa ya harus jalan kaki dan bersih-bersih? Bukankah ada mobil dan petugas kebersihan yang bisa kita suruh?

Hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita, lewat bersih-bersih itulah anak belajar kemandirian. Dengan berjalan kaki ke sekolah, anak akan menemui rintangan dan ia akan menemukan solusinya. Inilah skill problem solving, yang bisa saja kita sebagai orang tua membantunya, namun tahan aja dulu.

Di Jepang sistem lalu lintasnya aman untuk anak berjalan kaki, dan pastinya hal ini tidak bisa kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia. Maka kita bisa cari aktivitas lain yang mengasah problem solving anak. Ada masalah, ada solusi yang harus dipikirkan juga dipecahkan oleh anak secara mandiri.

Membiarkan anak memilih bajunya sendiri atau memilih mainan yang disukainya juga merupakan contoh melatih kemandirian pada anak. Ya, meskipun baju yang dipilihnya tak sesuai warnanya atau kaos kakinya beda sebelah. Tak apa, biarkan anak belajar menentukan pilihan dan tanggung jawab pada pilihannya.

Apapun aktivitasnya yang penting anak berlatih berpikir mandiri. Kita tahan dulu omelan, juga rasa was-was, khawatir dan segudang ketakutan yang kita miliki. “Aduh nanti kalau jatuh gimana?”

Atau, “Sini mama bantu.” Sering ya kita merasa begitu. Tahan ya Bunda, tahan!

Anak secara alami punya rasa mandiri. Terbukti dia berusaha tengkurap sendiri waktu masih bayi. Jangan sampai kita malah mematikan kemandirian itu. Karena kelak saat dewasa kita tak lagi menemaninya dan mengatur hidupnya. Biarkan ia punya rasa tanggung jawab dan inisiatif harus berbuat apa.

So, Bunda, latih terus rasa kemandirian anak. Dengan memberikan pilihan sekaligus konsekuensi, anak berlatih untuk berpikir dan bertanggung jawab atas segala risiko dari pilihannya. Bunda bisa juga mengadaptasi cara Jepang dengan melatih kemandirian anak lewat bersih-bersih lingkungan sejak dini. Siapkah Bunda?

Standard
japanalivestory

Berkawan dengan Kesunyian

Kesunyian dan kesepian adalah dua kata yang memiliki makna sama. 

Menurut kalian, apakah kesepian harus dihindari? 

Banyak orang menghindari kesepian dengan mencari teman sebanyak-banyaknya. Bagi saya, justru kesepian itulah teman sejati.

Ya, mau bagaimana lagi, kodratnya begitu. Kita lahir sendiri. Nanti saat meninggal pun juga sendiri.

Meskipun pada kenyataan, siapa sih manusia yang mau berteman dengan kesepian? Tidak ada.

Sejak kecil, saya takut dengan kesunyian, kesepian, kesendirian, dan sebangsanya. Ditinggal di rumah sendiri, bisa buat saya berkeringat dingin, rajin menengok teras, juga menyalakan semua lampu di rumah. Rasa-rasanya seperti ada yang mengintil saya di belakang.

Hidup dekat dengan tetangga, semakin melegalkan rasa takut saya. Karena jika kesepian, ibarat bisa loncat ke tembok tetangga, saya bisa sekadar mencari teman.

Masa setelah menikah, saya tinggal di lingkungan yang sepi. Plus bertetangga dengan nenek sebatang kara. Banyak hal tentang kesendirian dan kesunyian saya pelajari dari beliau.

Masa setelah tiba di Jepang, justru lebih-lebih saya belajar bahwa kesendirian itu hal yang biasa, hal yang nyaman saja.

Makan di resto sendiri? Santai aja kali.

Naik kereta sendiri? Ah, sudah biasa.

Belanja sendiri?

Nenek tua berjalan sendiri? Hidup sendiri?

Mama stylish berjalan sendiri?

Dan bentuk kesendirian lainnya yang jauh lebih banyak saya temukan di Jepang. Ajaibnya, semua itu dianggap hal yang biasa di Jepang ini.

Perlahan Allah ajarkan saya, bahwa sejatinya hidup memang sendiri. Lahir sendiri, kembali kepada-Nya pun sendiri.

Saya jadi belajar dari Jepang, tentang berkawan dengan kesunyian.

Pada akhirnya, saya simpulkan ya beginilah hidup. Kita harus mampu melatih diri untuk berkawan dengan kesunyian.

Jangan takut pada kesepian, ya! Karena memang, kita tuh sejatinya sendiri.

Standard
japanalivestory

Bonus Demografi Indonesia

Judul tulisan ini, jika saya panjangkan, akan menjadi demikian. “Bonus Demografi Indonesia, Atau Justru Menjadi Beban Demografi?”

Baik, saya akan memulai dengan sebuah kisah singkat.

Ada suatu negeri yang minim kelahiran bayi. Negeri itu berada di bagian bumi paling timur. Dialah Jepang. 

Berkebalikan, di sebuah negeri yang sama-sama berada di timur juga, memiliki jumlah kelahiran bayi yang cukup fantastis. Hampir setiap hari di negeri itu ada 10.000 kelahiran bayi baru. Negeri itu ialah Indonesia.

Sebuah kondisi yang sangat kontradiktif, Jepang-Indonesia. Dengan jumlah populasi penduduk yang melimpah, Indonesia mau apa? Barangkali pertanyaan ini perlu kita berikan kepada setiap warga negara Indonesia yang lewat, agar mereka tersadarkan bahwa sepuluh tahun mendatang, jumlah usia produktif Indonesia meningkat tajam.  Sebuah problem yang menghantui Indonesia.

Jepang, dengan populasi penduduk usia produktif sebanyak 60% dan terus menurun, tentu membawa problem tersendiri untuk Jepang.

Mari kita flashback sejenak. Jepang di tahun 1800-an, menjadi negara dengan jumlah angka kelahiran yang bisa dikatakan normal. Rakyatnya beranak pinak dengan baik. 

Jepang terkenal akan kerja kerasnya. Tokoh dalam film Oshin jelas sukses menggambarkan etos kerja orang Jepang yang sanggup menantang dunia meskipun badai salju sekalipun. Kerja keras Jepang dibuktikan dengan adanya otomatisasi di segala bidang. 

Jika berkunjung ke Jepang akan kita temui mesin-mesin otomatis tanpa bantuan manusia. Mesin itu bisa membuat kopi, menyajikan sushi, melayani pembeli yang memerlukan minuman, melayani pembelian tiket kereta, dan beragam mesin otomatis lainnya. Bisa jadi Jepang kini sedang mempersiapkan aneka robot canggih yang kelak akan menggantikan kinerja manusia.

Otomatisasi dilakukan untuk mempermudah kehidupan manusia. Dampak dari memacu teknologi, memacu kemajuan negara lewat otomatisasi membuat orang Jepang bekerja keras. Hasilnya memang sangat mengagumkan, seperti perputaran ekonomi yang cepat, hingga kemajuan industri. Namun ada satu hal yang miss atau hilang diantara prestasi Jepang yang gemilang. Yaitu esensi manusia untuk menghasilkan keturunan, menjadi tertekan. Terutama setelah ada kebijakan wanita Jepang pun kalau bisa bekerja keras juga membantu percepatan negara. Meskipun dulu saat Restorasi Meiji, Jepang memegang prinsip filosofis bahwa wanita harus menjadi ibu yang baik dan bijaksana di rumahnya (tidak bekerja di ranah publik). Seiring perkembangan zaman, filosofis wanita Jepang ini pun lama kelamaan hilang dan wanita Jepang harus juga keluar dari fitrahnya.

Fenomena ini yang paling menghantam demografi Jepang. Bisa dikatakan, kerja keras menghasilkan otomatisasi Jepang yang akhirnya lupa beranak.

Jepang kental akan kemandiriannya sejak dulu. Sehingga meskipun sang wanita bekerja di luar, mereka tak butuh asisten rumah tangga. Kerja domestik iya, mengejar karir juga iya.

Kerasnya dunia kerja mengakibatkan banyak orang Jepang memutuskan untuk tidak usah punya anak saja. Bagi wanita, berat memang, bekerja di ranah publik dan juga mengurus wilayah domestik. Maka wanita Jepang, kemudian memutuskan tak usah menikah karena hanya akan menambah keribetan bagi diri pribadi. Dengan menikah, konsekuensinya, pasti akan beranak, dan itu mengganggu karir mereka. 

Kerasnya tuntutan hidup di Jepang juga turut mempengaruhi jumlah anak. Hidup di Jepang memerlukan biaya cukup tinggi, membuat keluarga Jepang collaps. Wanita Jepang yang tadinya menganggap menjadi ibu rumah tangga adalah keharusan, kini berubah total menjadi wanita karier. 

Sekarang Jepang sedang ternganga dengan hasil kerja rodi selama ini, yang turut mempekerjakan wanita di ranah publik. Mereka tercengang bahwa angka kelahiran sangat minim. Berbagai stimulus diberikan oleh pemerintah Jepang, demi memancing agar remaja-remaja Jepang mau menikah dan punya banyak anak. Stimulus juga diberikan pada pasangan yang sudah memiliki anak, diberikan tunjangan hidup per bulan. Namun bagaimana akan punya anak jika tuntutan hidup tetap tinggi? Bagi orang Jepang, stimulus dari pemerintahnya tersebut masih kecil. Juga bagi orang Jepang, karena biaya hidup tinggi, tidak cukup jika hanya satu orang saja yang bekerja. Bagi wanita muslimah barangkali hal ini bisa ditepis karena ia memiliki jiwa qanaah, menerima berapa pun pendapatan suami. Namun bagi orang yang belum mengenal islam, bagaimana cara mendatangkan sifat qanaah ini? 

Sebagai gambaran. Sewa rumah di Jepang, dengan apartemen standar (biasa) di kota Fukuoka, bisa mencapai 80.000 yen atau setara dengan 11 juta rupiah. Ini belum di wilayah Tokyo metropolitan, yang bisa mencapai 200.000 yen hanya untuk sewa rumah yang biasa saja (bukan mewah). 

Problem yang dialami Jepang, tidak lantas membuat mereka berdiam diri. Mereka sudah persiapkan solusinya. Ya dengan semakin banyak terciptanya otomatisasi tadi ternyata malah justru menjadi jawaban atas problem rendahnya jumlah usia produktif masyarakat Jepang. Sedikit manusia namun sudah ada mesin dan robot yang bekerja. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah kita mempersiapkan bonus demografi yang sebentar lagi akan kita hadapi? Sejujurnya kita sedang mendapatkan bonus atau justru mendapatkan beban? Banyaknya manusia tentu akan banyak pula sandang pangan dan papan yang diperlukan. Tentu berimbas pula pada ketersediaan lapangan pekerjaan yang semakin minim. 

Akar utama untuk menyelesaikan problem ini, menurut saya bisa dimulai dari keluarga kecil terlebih dahulu. Setiap pasangan hendaknya secara sadar bahwa memiliki anak, melahirkan anak tidak hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan tetangga, “Berapa jumlah anakmu?” Namun lebih dari pada itu, anak adalah amanah yang harus ditanggung orang tua. Ada kewajiban menafkahi, juga terutama kewajiban mendidik hingga ia bisa mandiri secara akal dan finansial. 

Sekarang mari kita tanyakan pada diri kita sendiri sebagai orang tua. Sudahkan kita mendidik anak dengan baik? Atau justru kita menganut laundry parenting? Ibarat laundry, ya kita titipkan saja anak di sekolah, dari pagi hingga sore, pulang ke rumah sudah wangi tanpa perlu kita apa apakan lagi. Sekarang fenomena yang terjadi di Indonesia, sekolah dijadikan sebagai ajang “titipan” sehingga orang tua banyak yang lepas tangan. Merasa sudah membayar di sekolah, lalu alpa mendidik anak di rumah. Padahal pendidikan utama seorang anak ya didapat dari rumah, pendidikan dari ibu dan ayahnya. Alhamdulilah sekarang pandemi, anak-anak kembali “bersekolah di rumah”. Barangkali ini teguran dari sang Pencipta agar kita mau memaknainya.

Ibarat kata, kondisi pandemi ini membuat orang tua dan anak bergerak terbatas. Orang tua harus intens mendampingi langsung ke anak yang sedang bersekolah di rumah saja. Otomatis dari sisi waktu juga orang tua harus menyediakan waktu khusus. Bagi orang tua, bisa jadi kondisi sekolah di rumah ini adalah beban yang bertambah. Jika dulu, mereka bisa me time saat anak bersekolah, kini tidak lagi. 

Maraknya penggunaan game juga menjadi concern utama untuk orang tua Indonesia masa kini. Banyak anak bukan lantas anak dibiarkan bermain bersama game-nya. Atau ibarat game itulah pengasuh anak kita. Padahal jika kita mau berpikir lebih dalam, pencipta game itu punya tujuan untuk apa? Bagi saya, tentu merusak generasi. Dajjal tahu, siapa pasar utama game. Ya tentu negara-negara dengan jumlah populasi terbesar.

Ada dua sebenarnya dampak negatif dari gadget dan teknologi selular bagi anak. Pertama, gadget ada gelombang elektromagnetik, kedua sinar biru dari layar. Nah kenapa gelombang elektromagnetik? Jika anak terpapar lama oleh gelombang ini, maka bisa mengganggu efisiensi penangkapan informasi di otak, dan bisa berakibat permanen. Sinar biru bisa mengganggu circadian rhythm anak, dan dampaknya juga permanen dampaknya. Jika siklus alami tubuh ini terganggu, maka jam biologi anak juga pola hidupnya turut berubah. Anak jadi shifting semakin malam, tidur terlalu larut, begitu pagi dia berat untuk bangun pagi. Lebih lanjut, anak jadi lebih pemalas, sekolah berantakan. 

Adanya gadget yang berlebih, mengakibatkan energi fisik dari anak tidak termanfaatkan 100% di kehidupan harian anak. Waktu malam energi masih berlebih. Padahal anak itu fitrahnya ya bermain fisik. Kalau sudah main fisik kan capek. Berkebalikan saat seharian main gadget, malam masih full energi, tidur lambat, pagi susah bangun, dan seterusnya. Sebagai catatan, media saat malam sebenarnya kan restricted, jika anak tak kunjung tidur di malam hari, jadi nonton yang bukan-bukan. Jadi dia masuk ke jam kehidupan malam, waktu pagi dia tidak fresh. Ya memang seharusnya anak itu habis di aktivitas fisik. Capek, ngantuk lalu tidur. Tidur malam yang panjang, bangun pagi fresh. Jadilah ia sebagai manusia produktif. 

Sebenarnya boleh kok bermain game asal digunakan sebagai sesuatu yang positif. Sebelum anak kenal game, pahamkan dia apa fungsi game. Jika akan berselancar di internet, pastikan anak akan mengambil sesuatu yang positif. Dampak yang telah disebut di atas tadi, apakah anak paham jika tidak dijelaskan orang tua? Ya kalau cuma disodorkan, dibelikan gadget saja ya tentu tidak akan paham. 

Fenomena yang terjadi kebanyakan, game dan gadget diberikan pada anak namun tanpa ada penjelasan di awal. Hingga akhirnya saat anak sudah kecanduan, orang tua akhirnya menyesal. Ya menyesal yang tak tau arah. Akan diberhentikan atau tetap dilanjutkan? Kebanyakan  jawabannya ya tetap lanjut bermain gadget.

Bagaimana pun tidak bisa dipungkiri keberadaan game memang menggempur dengan deras anak  masa kini. Jika demikian yang terjadi, arahkan anak menjadi creator bukan hanya sebagai eksekutor. Arahkan ia sebagai pembuat, jangan hanya mau diperbudak sebagai penikmat saja. 

Dalam kajian Ahlan Ramadan yang disampaikan oleh Kang Ridwansyah Yusuf, problem-problem ini telah disebutkan. Indonesia sangat tertinggal dari sisi teknologi juga inovasi. Indonesia tertinggal dari sisi teknologi ya karena hanya sebagai konsumen/penikmat, bukan pembuat teknologi. Inilah tuntutan teknologi masa depan, maka generasi penerus harus bisa membuatnya.

Syeikh Imran Hosein dalam kajiannya memperingatkan jika anak terlalu banyak bermain game, ia akan terserang sisi tauhidnya. Ya bagaimana tidak, ia hanya terbiasa memakai, bukan membuat. Ia tak paham bagaimana sulitnya menciptakan. Maka banyak-banyaklah mengajak anak ke alam, mentadaburi keindahan alam ciptaan-Nya. Dari melihat alam, ia akan berpikir, siapakah yang menciptakan alam ini dan betapa susahnya membuat.

Jika orang tua memiliki jiwa mindfulness dalam mengasuh anak, seberapa pun jumlah demografi Indonesia, mau semakin bertambah banyak pun, Indonesia akan tersenyum di masa depan. Namun jika banyak anak namun tak memiliki kualitas yang terbentuk dengan baik, ya bisa apa? 

Mari kita tengok kondisi anak Jepang saat menggunakan gadget. Apakah mereka gadget freak seperti fenomena di Indonesia? 

Datang dan tinggal di Jepang sejak tahun 2019, membuat saya ternganga saat melihat anak-anak kecil generasi penerus Jepang masih asyik bermain di taman, berkejar-kejaran dengan temannya, bermain bola. Mereka tidak ada yang menundukkan kepala hanya untuk bermain game. Saat masuk ke tempat wisata, mereka asyik membawa kamera kecil untuk mengabadikan keindahan yang mereka temui. Sungguh pemandangan yang bagi saya sangat luar biasa. Negara ini pencipta teknologi layar handphone yang beraneka macam, namun generasi penerusnya tidak dibiarkan bermain gadget sembarangan.

Makanya kalau di Jepang itu untuk anak ada handphone khusus. Handphone yang layarnya masih monochrome. Kaget? Saya awalnya kaget sekali. Namun setelah saya telaah lebih dalam, saat handphone itu tidak pakai LCD maka tentu tidak memancarkan sinar biru yang membahayakan tadi. Beberapa malah masih jadul dengan menggunakan gelombang radio/intercom, bukan pakai jaringan seluler. Jepang sadar sekali bahaya ini. Mereka sangat concern untuk melindungi mata dan otak anak demi masa depan mereka. 

Menurut saya cara ini adalah cara apik Jepang dalam menjaga generasi penerus. Mereka tidak pesimis dengan jumlah penduduk usia produktif yang kian menurun. Justru mereka mensyukuri apa yang ada dan merawatnya. Jika pekerjaan teknis bisa dilakukan oleh robot, maka manusia yang jumlahnya minimal ini bisa memfokuskan diri pada hal-hal strategis yang pastinya tidak bisa dikerjakan oleh robot. 

Selain masalah gadget tadi, di Indonesia ada budaya yang mengakar. Meskipun bukan budaya yang 100% buruk. Banyak anak di Indonesia seringkali dimaknai untuk balas budi. Orang tua sudah melahirkan, membiayai, mendidik, lalu meminta anak balik modal. Hal ini perlu diluruskan. Kita sebenarnya punya anak buat apa? Anak bukan dituntut untuk membalas budi orang tuanya loh. Ya memang sudah kewajiban orang tua mendidik, membiayai anak. Siapa juga yang mengharapkan anak lahir ke dunia? Jelas orang tua yang terlebih dahulu harus mempertanggungjawabkan pada Allah, sebelum si anak. Yakin saja, jika kita menjadi orang tua yang benar dan saleh, tanpa perlu menuntut pada anak, maka Allah sang penggenggam jiwa anak pasti mengganjar kesalehan kita kok. 

Kembali saya menengok Jepang yang lebih “nothing to loose” saat punya anak. Maksudnya begini. Saya sering melihat kakek atau nenek Jepang berjalan sendirian. Tentu dengan kondisi khas orang tua. Bungkuk, dengan tongkat, jalan lambat, memakai kursi roda. Apakah nenek kakek ini ada temannya saat berjalan? Tidak, mereka hidup sendiri. “Dimanakah anaknya, tega sekali ya?” Mungkin itu bayangan kita sebagai orang Indonesia. Jepang menganut prinsip kemandirian dan privacy yang sangat tinggi. Sehingga orang tua Jepang tanpa perlu menuntut anak untuk menemani masa tua mereka. Dalam sudut pandang tertentu ya positif. Budaya setiap negara pasti berbeda. 

Akibat kondisi Jepang ini, maka pemerintahnya menanggung beban pensiun dan asuransi kesehatan yang tinggi, juga fasilitas untuk elderly banyak ditanggung pemerintah Jepang. Ya, akibat “nothing to loose” Jepang tadi, anak tidak perlu merawat orang tua (bagi sebagian orang). Pemerintah Jepang jadi harus mengurus ini semua. Jika hal ini tidak diurus tentu akan jadi masalah sosial yang besar bagi Jepang. Ada kerjasama Indonesia-Jepang agar dapat perawat untuk elderly.

Kondisi yang berkebalikan dengan di Indonesia, bukan? Pemerintahnya tak perlu mengurus elderly. Karena adanya prinsip di Indonesia bahwa anak lah yang harus merawat orang tua. Jika ditelisik lebih dalam, beban pemerintah Indonesia ringan, bukan? Tidak perlu mengurus usia non produktif ini.  

Sebenarnya Indonesia itu hebat jika mau mengurus hal-hal yang penting saja. Faktanya yang diurus malah justru hal tidak penting. Seperti meributkan hal-hal yang tidak perlu. Kasus saat pandemi misalnya. Shaf salat direnggangkan jadi dipermasalahkan, salat pakai masker diributkan. Padahal jelas dalam islam, jika ada wabah ya salat di rumah, tidak apa salat memakai alat pelindung, seperti masker. 

Menengok Jepang di era pandemi, kita lihat taatnya orang Jepang menggunakan masker. Orang Jepang banyak yang menggunakan logika, bukan baper-baperan dan adu kebenaran. Karena pandemi ya taat patuh pakai masker. Tidak pandemi saja mereka logis, pakai masker supaya kalau bersin tidak mengenai kawan di sebelahnya.

Mari kita buat Indonesia tersenyum. Indonesia, bangkitlah, urus yang penting saja, jangan hanya basa basi. Kita hadapi bonus demografi dengan optimisme. Mengarahkan anak-anak balita kita menjadi creator-creator handal. Supaya bonus demografi ini banyak membawa kebermanfaatan pada umat, bukan malah meresahkan.

Kembali saya menengok Jepang bangkit dari keterpurukan. Apakah Jepang ini langsung menjadi negara maju? Tidak! 

Butuh hampir satu abad, 100 tahun untuk meluruskan mental rakyat Jepang kala itu tahun 1800-an. Mental dulu yang diluruskan baru kemudian membangun fasilitas negara. Sama ya dengan Indonesia yang pernah rusak. Namun Jepang mau bangkit, hingga akhirnya menjadi macan asia. 

Konon saat itu, kaisar yang sedang memimpin, menginginkan negaranya maju, beretika seperti negara Eropa yang banyak diceritakan oleh VOC yang memang sudah ada di Jepang selatan. Jadi memang kehadiran VOC di masa itu sudah tersebar kemana-mana, termasuk Indonesia. Namun khusus di Jepang, VOC tidak bisa menyusup sampai ke seluruh wilayah Jepang, sama kaisar hanya diperbolehkan di wilayah selatan saja. Perjanjiannya kala itu, VOC boleh di wilayah selatan Jepang, tapi syaratnya VOC harus memberi kabar tentang kondisi dunia luar.

Nah karena kaisar ini mendapat informasi bagus dari VOC tadi, kaisar Jepang punya keinginan kuat agar Jepang bagus juga seperti negara Eropa. Maka disusunlah misi keliling dunia, sowan ke negara-negara maju. Misi Iwakura memakan waktu hampir dua tahun dengan kapal laut. Diawali dari Jepang, Amerika, Inggris, Belanda, Perancis, Turki, Arab, India, Indonesia (kerajaan Sriwijaya masa itu), Malaysia, Thailand dan kembali lagi ke Jepang. Namun sebelum Misi Iwakura, di tahun 700 M di awal, Jepang sudah berguru pada China. Dari perjalanan keliling dunia tadi, kaisar banyak belajar. Lalu menerapkan apa yang ia dapat secara positif dari hasil keliling dunia. Mereformasi seluruh budaya Jepang yang sudah tidak relevan, dan lain sebagainya.

Tak ada yang negatif dari kata meniru. Asal kita bisa mengmbangkan dan menyesuaikan dengan keadaan. Jepang pun meniru negara maju di Eropa pada masa itu, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Prinsip kaisar di tahun itu, ya meniru yang sudah terbukti sukses lebih baik daripada harus meramu strategi baru yang belum jelas keberhasilannya. Hasilnya? Jepang seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. 

Jika Jepang butuh 100 tahun untuk bisa maju, Indonesia bisa juga ‘kan? Saya berharap, Indonesia di usia 100 tahun bakal bagus juga seperti perjuangan Jepang membuat bagus negaranya. 

So, konklusinya, menurut saya, mau jumlah usia produktif melimpah atau sedikit, kata kuncinya itu ya kualitas manusia. Karena kalau tidak diisi mentalitas yang bagus, malah membenani negara dan pembangunan. Jangan sampai, bonus demografis yang hanya memiliki jiwa konsumtif. Jadikan bonus demografis ini sebagai manusia yang produktif. 

Ditulis oleh Alvika Hening Perwita, ibu dua anak, tinggal di Jepang. Berkarir sebagai dosen Ilmu Komunikasi selama sepuluh tahun lalu resign dalam rangka mengikuti suami yang sedang tugas studi lanjut di Kyushu University. Aktivitasnya kini selain menulis, juga mengelola online shop. Ia sangat concern pada pendidikan anak dan keluarga. Vika, nama panggilannya, dapat disapa melalui instagram @heningperwita.

Standard
japanalivestory

Gadget Dipakai Anak Jepang Sesuai Kebutuhan, Tidak Lantas Bikin Kecanduan

“Mama, tolong tanda tangan disini dong,” sulungku mengajukan sebuah kertas.

“Ini apa, Mas?” tanyaku masih tak paham dengan kertas bertuliskan huruf Jepang.

“Surat dari sekolah, Ma. Tentang no media day worksheet.”

Surat kejutan apa lagi ini?

Ada saja surat datang dari sekolah anakku. Kali ini orang tua diminta mengisi, apakah anak-anak memakai media di rumah? Media yang dimaksud ya menonton TV, atau bermain game di gadget. Lalu jika anak sedang tidak memakai gadget di rumah, apakah ada aktivitas membaca buku bersama orang tua? Berapa menit kegiatan ini dilakukan?

Wow. Jepang, aku belajar darimu. Bisa bikin teknologi bukan berarti harus seenaknya memakai teknologi. Semua ada masanya untuk anak. Sekolah juga ikut andil mengontrol kegiatan anak selama di rumah. Semacam kolaborasi orang tua dan sekolah.⁣

Zaman lagi serba gadget, sekolah Jepang sudah mengantisipasi agar anak didiknya tidak kecanduan. Ya meskipun negara ini bisa membuat sendiri aneka gadget canggih, bukan berarti generasi penerusnya dicecar dengan gadget. Apalagi jika usia anak belum mencukupi. Bisa dikatakan surat edaran dari sekolah ini tentang diet gadget. Sekolah meminta peran orang tua untuk mengendalikan anak saat bermain gadget.

Gadget di sekolah Jepang dipakai juga kok. Namun lihat dulu, untuk anak usia berapa? Jika sudah kelas tiga, boleh sesekali memakai komputer di sekolah, itupun hanya perkenalan. Untuk kelas empat, lain lagi ceritanya. Satu anak dipinjami satu gadget untuk observasi. Misalnya, anak memotret serangga lalu diobservasi lewat foto tersebut. Atau saat pelajaran social science mereka memotret kondisi sekitar sekolah. Untuk anak usia lebih muda, kelas satu misalnya tentu tidak ada gadget yang dipinjamkan di sekolah. Pelajaran anak kelas satu masih konvensional, dengan mendekat ke alam. Menanam bunga, bermain air, atau pergi outing ke taman terdekat.

Aku jadi ingat, pernah membalas chat dari temanku, seorang psikolog di Semarang, Jawa Tengah. Ia penasaran, seperti apa problematika gadget di generasi penerus Jepang?

Pakai gadget tentu harus jelas tujuannya. Ilmu apa yang akan didapat si anak jika bermain gadget. Bukan asal memegang dan bermain tanpa tahu jelas apa ilmu yang bakal diperoleh. Jika demikian yang dilakukan, tanpa jelas tujuannya, jangan salahkan anak jika mereka sudah kecanduan. Siapa juga yang memberikan gadget tanpa mengontrolnya?

Pantas saja minat baca di Jepang ini cukup tinggi, karena penggunaan gadget selalu dikontrol. Ada kerjasama antara orang tua dan sekolah, untuk saling mengingatkan agar anak-anak tidak banyak terkontaminasi gadget. Bukan karena gadget itu jelek. Boleh kok anak pakai gadget tapi ya dibatasi jangan sampai terlena.

Aku pernah suatu waktu di hari libur musim panas, berada di kereta Tabito. Kereta unik tujuan Dazaifu. Bayak anak-anak yang menaikinya karena memang bagus pemandangan di perjalanan yang dilewati kereta. Di sebelahku adalah anak-anak Jepang yang di lehernya menggantung kamera. Setiap kereta menyusuri bukit Dazaifu, anak-anak ini sigap membidik pemandangan dari balik jendela kereta. Aku dibuat takjub oleh mereka. Kamera menjadi alternatif pilihan agar anak tidak kecanduan gadget.

Maraknya penggunaan game harusnya menjadi concern utama untuk orang tua masa kini. Banyak anak bukan lantas anak dibiarkan bermain bersama game-nya. Atau ibarat game itulah pengasuh anak kita. Padahal jika kita mau berpikir lebih dalam, pencipta game itu punya tujuan untuk apa? Tentu merusak generasi.

Ada dua sebenarnya dampak negatif dari gadget dan teknologi selular bagi anak. Pertama, gadget ada gelombang elektromagnetik, kedua sinar biru dari layar. Nah kenapa gelombang elektromagnetik? Jika anak terpapar lama oleh gelombang ini, maka bisa mengganggu efisiensi penangkapan informasi di otak, dan bisa berakibat permanen. Sinar biru bisa mengganggu circadian rhythm anak, dan dampaknya juga permanen dampaknya. Jika siklus alami tubuh ini terganggu, maka jam biologi anak juga pola hidupnya turut berubah. Anak jadi shifting semakin malam, tidur terlalu larut, begitu pagi dia berat untuk bangun pagi. Lebih lanjut, anak jadi lebih pemalas, sekolah berantakan.

Adanya gadget yang berlebih, mengakibatkan energi fisik dari anak tidak termanfaatkan 100% di kehidupan harian anak. Waktu malam energi masih berlebih. Padahal anak itu fitrahnya ya bermain fisik. Kalau sudah main fisik kan capek. Berkebalikan saat seharian main gadget, malam masih full energi, tidur lambat, pagi susah bangun, dan seterusnya. Sebagai catatan, media saat malam sebenarnya restricted, jika anak tak kunjung tidur di malam hari, jadi nonton yang bukan-bukan. Anak masuk ke jam kehidupan malam, waktu pagi dia tidak fresh. Ya memang seharusnya anak itu habis di aktivitas fisik. Capek, ngantuk lalu tidur. Tidur malam yang panjang, bangun pagi fresh. Jadilah ia sebagai manusia produktif.

Sebenarnya boleh kok bermain game asal digunakan sebagai sesuatu yang positif. Sebelum anak kenal game, pahamkan dia apa fungsi game. Jika akan berselancar di internet, pastikan anak akan mengambil sesuatu yang positif. Dampak yang telah disebut di atas tadi, apakah anak paham jika tidak dijelaskan orang tua? Ya kalau cuma disodorkan, dibelikan gadget saja ya tentu tidak akan paham.

Fenomena yang terjadi kebanyakan, game dan gadget diberikan pada anak namun tanpa ada penjelasan di awal. Hingga akhirnya saat anak sudah kecanduan, orang tua akhirnya menyesal. Ya menyesal yang tak tau arah. Akan diberhentikan atau tetap dilanjutkan? Kebanyakan jawabannya ya tetap lanjut bermain gadget.

Bagaimana pun tidak bisa dipungkiri keberadaan game memang menggempur dengan deras anak masa kini. Jika demikian yang terjadi, arahkan anak menjadi creator bukan hanya sebagai eksekutor. Arahkan ia sebagai pembuat, jangan hanya mau diperbudak sebagai penikmat saja.

Syeikh Imran Hosein dalam kajiannya memperingatkan jika anak terlalu banyak bermain game, ia akan terserang sisi tauhidnya. Ya bagaimana tidak, ia hanya terbiasa memakai, bukan membuat. Ia tak paham bagaimana sulitnya menciptakan. Maka banyak-banyaklah mengajak anak ke alam, mentadaburi keindahan alam ciptaan-Nya. Dari melihat alam, ia akan berpikir, siapakah yang menciptakan alam ini dan betapa susahnya membuat.

Datang dan tinggal di Jepang sejak tahun 2019, membuat mulutku ternganga saat melihat anak-anak kecil generasi penerus Jepang masih asyik bermain di taman, berkejar-kejaran dengan temannya, bermain bola. Mereka tidak ada yang menundukkan kepala hanya untuk bermain game. Saat masuk ke tempat wisata, mereka asyik membawa kamera kecil untuk mengabadikan keindahan yang mereka temui. Sungguh pemandangan yang bagiku sangat luar biasa. Negara ini pencipta teknologi layar handphone yang beraneka macam, namun generasi penerusnya tidak dibiarkan bermain gadget sembarangan.

Makanya kalau di Jepang itu untuk anak ada handphone khusus. Handphone yang layarnya masih monochrome. Fungsinya sangat minim namun sesuai kebutuhan anak. Untuk berkomunikasi dengan orang tuanya, mengecek apakah anak sudah di rumah, atau anak bermain ke mana saja.

Kaget dengan handphone minimalis jadul yang masih ada di Jepang ini? Aku awalnya kaget sekali. Namun setelah aku telaah lebih dalam, saat handphone itu tidak pakai LCD maka tentu tidak memancarkan sinar biru yang membahayakan tadi. Beberapa malah masih jadul dengan menggunakan gelombang radio/intercom, bukan pakai jaringan seluler. Jepang sadar sekali bahaya ini. Mereka sangat concern untuk melindungi mata dan otak anak demi masa depan mereka.

Parents, jiwa anak itu sebenarnya adalah jiwa bermain di tempat terbuka. Jika mereka sampai tidak mau melakukan aktivitas fisik di alam, pasti ada yang salah dengan perkenalannya. Bisa jadi tidak diajarkan, atau malah justru disodorkan gadget di awal. Pada akhirnya mereka terlena dengan aktivitas yang hanya berdiam diri.

Standard
japanalivestory

Rajin Baca Kayak Orang Jepang, Apakah Bisa?

Sebelum membahas lebih dalam, saya akan memulai dahulu dengan perumpamaan. Misalnya begini.

Pernah lihat Taufik Hidayat main badminton, ‘kan? Wih, jago banget ya. Terus pernah ada rasa pengin bisa badminton kayak dia?

Mas Taufik itu, masa kecilnya kerap diajak ayahnya bermain bulu tangkis di GOR Pamor, Pangalengan, Jawa Barat sejak ia berusia 7 tahun. Dari situlah Mas Taufik yang juara dunia, mulai tertarik dengan olahraga badminton.

Lah kita? 

Paling main badminton di halaman depan rumah, ya ‘kan?

Maksud saya gini. Lihat Mas Taufik itu seperti lihat orang Jepang yang masih saja hobi baca di tengah gempuran teknologi masa kini. 

Mereka dari kecil sudah dibiasakan. Lingkungan juga mendukung. Di kereta, di taman, di food court mall adalah tempat yang lumrah bagi mereka membaca buku. 

Di ruang tunggu dokter anak juga disediakan rak buku beserta isinya. Di dekat taman bermain, kadang juga ada rak buku yang bebas boleh dibaca warga. Perpustakaan keliling juga disediakan.

Perpustakaan kota (Madokapia Toshokan) turut menyumbang buku untuk sekolah SD. 

Tak kalah dengan public space, sekolah juga punya ruang perpustakaan yang memadai. Dengan fasilitas buku yang beragam, penuh warna mampu menghipnotis anak untuk berlomba-lomba meminjam buku dari perpustakaan. 

Sensei / guru turut serta menstimulus murid untuk meminjam buku. “Ayo, pinjam buku yang banyak,” begitu kata sensei. Kegiatan ini rutin dilakukan seminggu sekali, bergilir tiap kelas. Anak-anak juga berkewajiban menata kembali buku ke dalam rak. Jadi bukan tugas penjaga perpustakaan yang mengembalikan buku ke rak. 

Di dalam kelas juga tak kalah seru. Rak buku menjadi hiasan wajib di kelas. Ada rak buku utama juga rak buku dari perpustakaan kota. 

Kegunaan buku di kelas ini fungsinya untuk membungkam murid agar tidak berisik saat ada murid yang sudah selesai mengerjakan tugas. Daripada anak-anak ini berisik mengganggu kawan sebelah yang belum selesai mengerjakan tugas ya sensei punya akal agar mereka membaca buku yang ada di rak kelas saja.

Jadi memang anak-anak Jepang sudah dibiasakan sejak dini untuk dekat dengan buku. Meskipun pinjam buku hanya dilihat gambarnya, tak apa. Setidaknya anak ini sudah tertarik dulu dengan buku.

Kira-kira kita kalah start enggak dengan mereka? Saya rasa iya. Masa kecil saya tidak begitu, heu. Paling mentok pinjam majalah Bobo punya teman.

Tapi jangan sedih dulu. Kita tetap bisa kok membiasakan diri membaca buku. Paksain aja membaca buku yang membuat kita tertarik. 

Kayak anak kecil umur enam tahun yang bakalan memilih buku full colour dan banyak gambar dibanding dengan buku full text. Kita juga seperti itu, pilih mana yang kita suka, lama-lama akan biasa. 

Kalau ada yang bully? “Eh, ngapain baca buku, kayak orang pintar aja.” Hal yang biasa ya di Indonesia, ngurusin orang. Ya pakai kacamata kuda aja sih. Ora usah digagas, kalau kata orang Jawa. Atau sabodo teuing kata orang Sunda.

Saya pernah dulu jaman kuliah, suka curi-curi ke perpustakaan tanpa memberi tahu teman, ya supaya enggak di-bully. Karena saya punya misi untuk segera menyusun skripsi di semester delapan. Di saat teman-teman masih asyik mengerjakan film dokumenter, saya memilih keduanya : skripsi iya, film dokumenter juga jalan.  

Pengalaman saat anak saya lebih suka baca buku ketimbang main gadget, ya jadi kayak anak aneh di TK-nya dulu di Indonesia. Lagi-lagi saya pasang kacamata kuda. 

Dari sisi behaviour sudah jelas berbeda antara Indonesia – Jepang. Orang Jepang bisa teratur merapikan kembali buku yang sudah dipinjam tanpa harus menyuruh petugas. Orang Jepang memilih diam tidak mengurus hal yang bukan ranahnya. Orang Jepang lebih memilih tidak banyak bicara di dalam kereta. Sekadar basa-basi dengan penumpang sebelah, it’s a big no. 

“Daripada berisik, mending baca buku,” mungkin begitu pikir mereka. Itulah mengapa, di Jepang  membaca buku adalah hal yang biasa.

Saya mengenal Jepang sebagai negara yang segera bangkit walau tertatih. Tahun 1945, dua kota mereka lumpuh oleh bom atom. Tak sampai 20 tahun (1964), mereka berhasil meluncurkan kereta cepat shinkansen yang pertama, bertepatan dengan event Olimpiade, menghubungkan Tokyo – Osaka.

Sama halnya dengan gempuran gadget saat ini. Tidak membuat mereka lantas menjadi gadget freak. Generasi mudanya dari usia SD ada program yang bernama “No Media Day”. Anak dikontrol berapa lama pakai gadget dalam sehari dan sudah baca buku apa saja dalam sehari itu.

Jadi bisa bikin gadget tak serta merta membuat mereka terlena dan tetap melanjutkan membaca buku di mana pun berada.

Saya ada cerita cukup menyentuh dari anak Jepang, kawan bermain anak saya. 

Mereka saat itu sedang di taman, bermain bola atau menangkap serangga. Saat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, si anak ini pamit ke anak saya mau pulang duluan. Katanya mau pergi ke Madokapia (perpustakaan kota) bersama ayahnya.

Saat anak saya pulang ke rumah dan bercerita, saya langsung mak deg. Ya ampun, anak Jepang ini, ditemani ayahnya ke perpustakaan. Bermain baginya tak hanya di taman, perpustakaan juga menjadi tempat yang nyaman. 

Oh ya, ada hal penting yang saya analisa, ternyata berperan cukup penting dalam mengajarkan “apa makna isi buku yang dibaca”.

Mereka diajarkan untuk memahami sebuah bacaan lewat mendongeng dan pertanyaan kritis. Kokugo, nama pelajarannya di sekolah Jepang. Bisa diartikan Japanese lesson yang tak hanya mencakup belajar huruf kanji, tapi juga ada mendongeng (read aloud dengan moral story) kisah penuh hikmah yang mengasah empati anak. 

Di akhir sesi mendongeng itu, biasanya sensei akan menanyakan, “Bagaimana perasaan kamu saat jadi mereka?” Lalu anak-anak ini akan mengacungkan jari, menunggu ditunjuk sensei. Mereka dengan semangat berpendapat di hadapan kawan-kawan sekelas.

Kata Ibu Rossie Setiawan pakar membacakan nyaring (read aloud) sih gini. Dalam proses mendongeng atau membacakan anak buku itu, ada proses anak bertanya. “Mengapa begini, Ma?” atau “Kok dia begitu sih?”.

Dalam proses ini anak akan belajar proses bertanya. “Kita ini di sekolah kurang diajarkan untuk bertanya. Kita hanya diajarkan untuk menjawab pertanyaan. Padahal menjawab pertanyaan, apalagi yang jelas-jelas sudah ada di buku, itu sangat lah mudah,” terang Ibu Rossie.

Jadi jangan mematahkan semangat anak dengan mengatakan, “Cerewet banget sih, Nak, nanya-nanya melulu.”

Sekarang sudah tahu ‘kan teman-teman, resep rahasia orang Jepang yang suka baca buku dimana pun berada?

Start-nya aja mereka sudah lebih duluan. Dari mulai awal masuk SD. Lingkungan sekitar juga andilnya cukup besar.

Sementara pendidikan dasar kita dulu, ya bisa dikatakan tidak menstimulus untuk baca buku, tapi tak ada kata terlambat kok.

Jadi action plan-nya apa, agar kita juga suka membaca?

* Siapkah teman-teman untuk membawa dan membaca buku di tempat umum? Daripada main gadget saat menunggu lebih baik baca buku.

* Siapkah teman-teman untuk diet gadget dan membuat daftar buku apa saja yang dibaca di hari ini? Jika anak Jepang bisa, kita pun si dewasa ini juga bisa. 

* Siapkah teman-teman untuk menjadi si kutu buku meskipun lingkungan di Indonesia tidak mendukung? Ya bisa jadi kena bully lantaran rajin membaca buku.

* Siapkah teman-teman untuk memilih buku di banyak platform online (gramedia, ipusnas) atau membeli buku? Layaknya anak Jepang yang diajak untuk rajin ke perpustakaan sekolah seminggu sekali.

* Siapkah teman-teman untuk beropini atas buku yang telah dibaca? Jika anak Jepang punya kokugo, kita juga bisa beropini, let’s go! Bisa dimulai dengan membuat review atas buku yang sudah kita baca.

Silakan pertanyaan ini dijawab pada diri masing-masing.

“Meniru yang sudah terbukti sukses lebih baik daripada harus meramu strategi baru yang belum jelas keberhasilannya.”

Tak ada yang negatif dari kata meniru. Asal kita bisa mengembangkan dan menyesuaikan dengan keadaan.

Prinsip kaisar Jepang pun juga meniru negara maju di Eropa pada tahun 1800-an, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.  Hasilnya? Jepang seperti yang bisa kita lihat sekarang. 

Sebagai closing, saya ingin menegaskan agar kita jangan membandingkan ya. Kadang kita enggak adil dengan diri kita sendiri, membandingkan dengan orang yang lebih start duluan. Membandingkan kebiasaan orang Jepang dengan kita. Proses dia membiasakan membaca di negaranya sudah puluhan tahun lalu atau bahkan lebih, sudah perbaikan banyak, sedang kita baru memulai. Ya jadikan motivasi saja. Kalau dia bisa, berarti aku juga bisa.

Optimis ya!

Standard
japanalivestory

Tinggal di Negara Child Free

Lihat IG story kenalan di IG, sama-sama tinggal di Jepang. Beliau bilang, lah aku ini kan tinggal di negara child free, bahkan istri free juga suami free.

Batinku, lah iya juga yak, kemana aja owe kok enggak sadar.

Aku enggak sadar soalnya tetanggaku disini banyak yang punya anak. Taman bermain masih ramai. Sekolah masih beroperasi normal, tidak seperti wilayah Jepang yang lain sampai tutup sekolahnya saking nggak ada kelahiran bayi.

Sekolah anakku masih penuh. Kelas satu aja ada empat kelompok, per kelompok 30 anak. Berarti di Fukuoka wilayah tempat aku tinggal ini masih pada mau meneruskan keturunan. Ibu Jepang kenalanku aja anaknya tiga. Terus, sensei suamiku juga anaknya empat. 

Punya anak itu enggak gampang. Ya hamilnya, ya melahirkannya, ya merawat juga mendidiknya butuh effort. Aku aja pernah nge-halu, seandainya perut ini ada resletingnya gitu, tinggal dibuka lalu anak keluar. Halu yang aku omongin pas melahirkan Faira, operasi caesar yang kedua. Pedih kalau diingat sakitnya lahiran itu. 

Tapi ya masa Allah diamkan aja tanpa dikasih reward

Bagiku punya anak itu asyik, jadi banyak belajar, juga memperbaiki diri. Bisa diuwel-uwel bocahnya, menggemaskan banget. Perkara balasan di akhirat itu sudah haknya Allah. Tapi kalau mau dijabarkan, bikin ngiler, ya enggak sih? Kayak balasan seorang ibu yang menyusui anaknya, balasan orang tua yang berhasil membuat anak saleh dan seterusnya.

Kalau ada yang punya anggapan child free ya suka-suka dia. Toh aku juga enggak ngerti kesulitan dan kekhawatiran apa yang dia punya. Apalagi hidup di negara self service macam Jepang, yang apa-apa dikerjakan sendiri. Kalau ada tenaga kerja masuk aja, bukan dijadikan pembantu atau baby sitter di rumah-rumah macam di negara Arab, tapi malah buat mengisi industri mereka.

Dulu Jepang hobi punya anak banyak. Wanitanya memang pada fitrahnya, ya di rumah mengurus keluarga. Bahkan sampai ada filosofinya : Ryosai Kenbo. Tapi seiring adanya kebijakan pemerintah Jepang buat meningkatkan percepatan ekonomi, maka perempuan Jepang di-push buat bekerja. Ya otomatis jadi enggak pengin punya anak, wong udah capek kerja di luar. 

Sulit lho perempuan itu kalau jadi wanita karier dan masih harus urus rumah plus meneruskan keturunan. Pakai pembantu aja masih ngos-ngosan apalagi kayak Jepang ini tanpa pembantu. Aku sudah merasakan semua. Karier pakai pembantu pernah. Karier tanpa pembantu juga iya. Stay at home mom pakai pembantu pernah, stay at home mom tanpa pembantu juga iya pernah banget. Tahulah semua rasanya.

Jepang aja sekarang kewalahan, enggak punya banyak generasi muda. Pekerja banyak didatangkan dari Indonesia, Bangladesh, Pakistan.

Sedih lho jadi Jepang, negaranya maju tapi siapa yang akan mewarisi wong generasinya habis? Makanya pada belajar Bahasa Jepang, besok kita penuhi Jepang dengan anak-anak kita, heu. Canda.

Tapi Jepang kemampuan agility-nya bagus. Kelincahan untuk berubah dan menemukan solusi dari sebuah masalah. Robot otomatis sudah banyak bekerja di Jepang.

Sudah mapan, enak bekerja jadi sulit buat ajak mereka married, apalagi sampai punya anak. Banyak subsidi yang digelontorkan pemerintah Jepang buat menstimulus warganya supaya mau beranak. Saking banyaknya subsidi, kita-kita yang foreigner ini kecipratan. 

Belum masalah urus rumah. Capek ‘kan tanpa pembantu? Jadi ya kompleks sih masalah ini. Apalagi kalau enggak punya iman, enggak punya pegangan ada Allah, sulit buat mau punya anak.

Aku juga enggak memungkiri kadang kita pengin menunda punya anak, tapi lingkungan terus menekan supaya segera beranak. Kayak aku ini aja, anak udah dua : laki dan perempuan, masih aja ditanya kapan nambah? Emang situ mau bantu ngerawat? Suka heran sama orang yang nanyain kayak gini. 

Sudahlah tanggung jawab moral punya anak itu berat, karena amanah, masih dibombardir hal seperti ini.

Apapun keputusanmu mau child free atau memiliki keturunan ya mindfull aja, dikerjakan dengan sadar. Punya anak ya dirawat yang baik, jangan cuma asal balapan banyak anak, asal titip sana sini. Jangan sampai anak diminta balas budi karena orang tua sudah merawat anak sejak bayi. Ya nggak gitu juga, wong orang tua sendiri yang minta anak lahir kok bisa-bisanya si anak yang diintimidasi suruh balas budi. Kan sudah kewajiban jadi orang tua. Lagian siapa juga yang enaq-enaq. Kalau benar jalanin kewajibannya, yakin Allah enggak tinggal diam, menggerakkan hati anak buat balas budi otomatis ke orang tua. Doa untuk orang tua masih ingat kan, “Kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil.” Nah! Orang Jepang tuh punya anak nothing to lose. Sudah tua enggak ditengok sama anak ya mereka legowo aja walau pasti ya sakiiiiit.

Pernah kepikiran enggak kita punya anak buat menyenangkan orang lain? Bisa jadi menyenangkan suami, menyenangkan mertua, menyenangkan orang tua? Aku pernah di posisi itu. Pasca menikah, aku sebenarnya mau fokus tesis dulu, punya anak entar dulu. Suami kasih perspektif lain, kalau ditunda jatuhnya ya sama aja, malahan entar tambah tua anak masih kecil, lagian punya anak duluan, tesis juga bakal kelar, katanya gitu. Ibu mertua tidak melarang tapi juga beri pendapat. Kata beliau waktu itu, enggak apa-apa nanti ibu bantu, toh dulu ibu juga masih koass waktu anak-anak balita. Ibu semacam beri contoh, kamu bisa kok, sembari kuliah sekalian ngasuh anak. Mama aku juga jelas enggak kasih lampu hijau. Kata beliau, kamu bisa kok ngerjain tesis sambil punya anak. Aku paham dengan alasan mereka. Karena anak yang belum aku proses ini bakalan jadi cucu pertama buat mereka semua. Jadi aku menghargai mereka aja gitu. Bikin mereka bangga dan bahagia dengan kehadiran cucu. Akhirnya ya sudahlah aku tak tunda lagi. Toh kalau kesulitan pegang bayi pas ngerjain tesis, masih ada mama dan ibu mertua, pikirku waktu itu. Lagian ada suami, kenapa harus takut?

Kalau enggak mau punya anak ya udah itu keputusanmu enggak usah bujukin orang lain gitu, bisa? Oh ya, jangan lupa kalau program kayak gini perlu dicurigai, biasanya ada embel-embel isme-nya. Feminisme misalnya, heu. Kalau aku sih masih percaya laki-laki dan perempuan itu sama dalam hal mencapai derajat ketaqwaan, bukan harus sama dari sisi mengejar karier. Karena gimana pun kodratnya sudah jelas beda. Istri mengejar karier dibarengi dengan punya anak? Lebih berat!

Standard