Fukuoka, 28 Mei 2019
Sore itu langkah kaki saya percepat menuju Hakozaki. Ada rasa tak sabar ingin segera bertemu saudara muslim yang sedang tinggal di Fukuoka. Dari apato, saya bersepeda menuju Stasiun JR Kasuga. Jaraknya hampir 1.5 kilometer dari apato dengan jalan yang menanjak. Usai tiba di JR Kasuga, sepeda saya parkirkan. Demi menghemat energi, saya memilih naik lift meski harus sedikit lebih lama dibandingkan naik tangga.
Tiket kereta menuju Hakozaki sudah ada di tangan. Nantinya saya akan melewati sebanyak lima stasiun sebelum sampai di stasiun pemberhentian dekat masjid. Dari Kasuga, lalu melewati Minami Fukuoka, Sasabaru, Takeshita, Hakata, Yoshizuka, dan terakhir Hakozaki Station. Dari balik jendela, saya mengamati pemandangan, sambil menyaksikan beberapa orang Jepang yang kadang ada yang sedang makan. Adalah godaan di bulan Ramadan, melihat orang lahap makan sementara perut saya keroncongan.
Berpuasa di negeri minoritas muslim bisa jadi tantangan tersendiri. Tidak banyak orang di sekitar yang berpuasa. Jadi ya bisa dikatakan saya berpuasa dalam keadaan sunyi. Selama di Jepang, saya harus membiasakan diri beribadah dalam kesunyian. Sunyi dalam arti sesungguhnya. Tidak ada tetangga muslim, hanya keluarga yang menemani dan menguatkan.
Di kesunyian itu, saya menemukan sesuatu. Bahwa dalam urusan ibadah kepada-Nya, terutama puasa, mau dilakukan dalam kesunyian maupun keramaian, tetaplah tujuannya sama, yaitu meraih takwa. Ya, puasa mau sunyi atau ramai, tujuannya tetap sama, yaitu meraih takwa.
Dalam situasi sunyi ramadan di Jepang, mau makan di siang hari ya tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada rasa sungkan jika ada manusia yang melihat, toh orang Jepang tak banyak yang paham apa itu ramadan. Meski di Jepang ribuan manusia tak memperhatikan, tetap ada satu Yang Maha Esa, yang akan selalu mengawasi tingkah laku kita. Saya mau makan dengan sembunyi pun Allah Maha Tahu. Maka berpeganglah selalu pada iman agar kuat dalam situasi kesunyian itu.
Kereta JR Kagoshima Line yang saya tumpangi sudah tiba di Stasiun Hakozaki. Saya bergegas menuju masjid yang masih 300 meter lagi dengan berjalan kaki. Sesampainya di teras masjid, saya meletakkan sepatu lalu menaiki tangga menuju lantai dua tempat jamaah wanita. Saat itu sudah masuk waktu asar. Terlihat beberapa orang berperawakan Arab dan ada yang putih seperti bule. Saya tersenyum. Mereka mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”
Ucapan salam adalah bahasa universal. Jika kita bertemu orang muslim yang berbeda suku bangsa dengan kita, ucapkanlah salam. Salam itulah bahasa yang paling mudah.
Tak lama, tampak gerombolan orang berkulit hitam datang. Sepertinya dari Afrika. Mereka pun tersenyum dan mengucapkan salam. Lantas beranjak menuju tempat mengambil air wudu.
Bagi saya, berada di masjid yang berisi aneka ras dan suku bangsa, ada rasa berbeda. Seperti berada di Mekah, melaksanakan ibadah haji, bertemu dengan hamba Allah dari seluruh dunia.
Wanita bule yang tersenyum pada saya tadi, ternyata berasal dari Kazakhtan. Bahasa Inggrisnya lancar, sehingga saya bisa berbincang cukup lama dengannya. Beliau sedang mengikuti kelas bahasa di salah satu universitas di Fukuoka. Masjid Fukuoka menjadi langganan beliau berbuka bersama komunitas muslim, sebab bila berbuka sendiri di apato, beliau malah merasa tak nyaman. Memang ada tantangan lebih bila berada di tanah rantau tanpa membawa keluarga. Semua hal akan dilakukan sendiri. Maka bergabung dengan komunitas muslim di masjid seperti inilah, seorang perantau akan menemukan keluarga baru yang siap menemani.
Waktu berbuka masih dua jam lagi. Terdengar banyak wanita menaiki tangga menuju lantai tiga. Pastilah mereka sedang mempersiapkan berbuka bersama, kegiatan rutin yang dilaksanakan Masjid Fukuoka selama ramadan. Ada jadwal piket yang disusun bergantian untuk mempersiapkan buka bersama. Misalnya saja, minggu pertama piket dilakukan oleh komunitas Arab. Minggu kedua piket dilakukan oleh komunitas Pakistan-India. Minggu ketiga dilakukan oleh komunitas Indonesia-Malaysia. Begitu seterusnya hingga minggu keempat ramadan usai.
Tugas kelompok komunitas yang sedang piket itu mempersiapkan seluruh menu berbuka. Ada yang unik di sini, bahwa jamaah pria lah yang bertugas memasak aneka menu tersebut. Sedangkan jamaah wanita tinggal mengambil masakan yang sudah matang. Saya jadi ingat sebuah nasihat bahwa wanita sesungguhnya di Islam sangat dimuliakan. Pada dasarnya seluruh kebutuhan rumah tangga sebenarnya ditanggung oleh suami. Ibaratnya istri tinggal menikmati tanpa perlu bersusah payah memasak makanan.
Memang, dalam masyarakat telah tertanam kuat bahwa tugas istri dalam keluarga identik dengan kegiatan rumah tangga, misal memasak dan mencuci. Kewajiban lain adalah terkait dengan tugas mengasuh dan membesarkan buah hati. Tetapi, tugas istri dalam Alquran ternyata tak hanya seputar aktivitas domestik.
Ustaz Adi Hidayat menjelaskan, tugas istri telah dijelaskan dalam firman Allah dan wajib dilaksanakan. Ada dua tugas pokok istri di dalam Alquran surat keempat ayat 34.
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajiban sebagai istri), hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisa ayat 34)
Sesuai ayat tersebut, Ustaz Adi Hidayat menjelaskan tugas istri yang pertama adalah taat pada Allah. Ketaatan diwujudkan dengan patuh pada suami untuk segala hal yang baik. Ustaz Adi Hidayat mencontohkan permintaan suami pada istri yang wajib dilaksanakan adalah mengenakan hijab, menunaikan salat, menghadiri taklim. Jika suami meminta hal yang tidak baik maka istri boleh menolak dengan cara yang halus. Misalnya saja suami meminta untuk untuk melepas hijab dikarenakan malu di lingkungan kantornya tak ada wanita yang memakai hijab. Maka istri bisa menolak dengan halus. Perintah tersebut jelas telah melanggar syariat Allah.
Tugas kedua istri sesuai Surat An-Nisa adalah menjaga nama baik keluarga terutama suami, apalagi ketika sedang tidak bersama. Tugas menjaga nama baik suami dan keluarga harus dilakukan setiap saat di semua tempat.
Dengan penjelasan ini, semoga tugas istri tak lagi dipandang remeh. Tugas istri dalam Alquran sesungguhnya bukan seputar memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Tetapi bila istri rida melakukannya, pahala menanti dirinya.
Lewat acara buka bersama komunitas muslim inilah saya kembali diingatkan Allah. Sejatinya tugas memasak adalah milik suami (pria). Di lantai basement untuk jamaah pria, terdapat dapur besar lengkap dengan peralatan memasak. Ada panci yang sangat besar untuk memasak. Sedangkan dapur untuk jamaah wanita hanya berisi peralatan sederhana sekadar untuk mempersiapkan makanan.
Sore itu jamaah pria sibuk mondar mandir dari masjid menuju Gyomu Supermarket yang lokasinya di bawah Stasiun Hakozaki. Supermarket Jepang lokal yang menyediakan aneka bahan makanan halal. Ada ayam fillet berlabel halal, roti canai berlabel halal, dan aneka snack yang memudahkan para muslim. Kehadiran Gyomu Supermarket membawa angin segar bagi komunitas muslim. Kami bisa berbelanja makanan halal sembari beribadah di Masjid Fukuoka.
“Sungguh rahmat Allah akan selalu hadir di mana pun kita berada, maka janganlah berputus asa.”
Menu yang disajikan dalam buka bersama Masjid Fukuoka seringnya adalah nasi rempah seperti biryani. Ada beberapa snack khas masing-masing negara, seperti bakwan yang biasanya dihadirkan oleh komunitas Indonesia. Lewat acara berbuka ini, saya jadi tahu jika di Pakistan juga ada sejenis bakwan yang berbumbu kari.

Untuk menu takjil, dihadirkan buah, kurma dan roti. Snack yang saya sebut terakhir ini sempat membuat saya terharu saat memakannya. Bayangkan sejak Maret awal kedatangan di Fukuoka, saya tidak pernah mengudap roti karena takut dengan status kehalalan roti Jepang yang beredar. Di akhir Mei, saya diberi Allah roti halal yang disuguhkan oleh seorang Ibu asal Indonesia. Beliau pandai membuat roti bahkan membuka pre order jika ada yang memerlukan. Lewat acara buka bersama komunitas muslim inilah saya banyak mendapat pencerahan tentang makanan Jepang mana saja yang bisa dikonsumsi oleh muslim.
Di Jepang, sebagai seorang muslim harus berhati-hati dengan makanan. Allah memerintahkan kita untuk mengkonsumsi makanan yang halal. Orang Jepang bukan muslim, maka makanan yang mereka olah perlu kita waspadai asal bahan makanannya. Roti, misalnya. Kita perlu memperhatikan mentega yang digunakan apakah berasal dari bahan hewani atau nabati. Jika bahan hewani, tentu harus disembelih sesuai syariat. Jika bahan nabati, maka lebih aman kita konsumsi sebab berasal dari tumbuhan.
Tiga puluh menit sebelum azan magrib berkumandang, jamaah pria memanggil jamaah wanita bahwa makanan telah siap. Kami pun berjejer estafet untuk menerima makanan dari lantai basement, kemudian dibawa ke lantai tiga.
Bahagia saya rasakan, makan bersama saat berbuka seperti saat masih di tanah air dulu. Jika apa yang kita inginkan belumlah dapat terwujud, maka ciptakanlah sesuatu yang mirip dengan apa yang kita inginkan agar kebahagiaan dapat menyelimuti kita. Sama halnya, ketika berada di lingkungan orang Jepang, tak saya temukan suasana ramadan, maka ciptakanlah suasana itu bersama komunitas yang sekufu.
Kehadiran komunitas muslim sungguh telah menguatkan para perantau. Tinggal di negeri minoritas muslim bukanlah halangan. Dengan berburu komunitas muslim, kami seperti menemukan keluarga baru.