japanalivestory

Terpaksa Berolahraga

Ada yang bisa menebak negara mana saja kah yang tergolong sebagai negara tersehat di dunia? Menjawab pertanyaan ini, tentu kita akan menyisir negara-negara yang tergolong memiliki kebersihan lingkungan dan warganya yang mengandalkan aktivitas fisik. Jepang, negara yang saya tinggali saat ini termasuk di dalamnya. Bahkan menjadi nomor wahid untuk wilayah Asia.

Sebuah survey yang dilakukan Bloomberg Healthiest Country Index, mengatakan jika Jepang menduduki peringkat keempat dunia. Tak mengherankan, saya melihat langsung bagaimana kebiasaan masyarakat Jepang sehari-hari. Berjalan kaki dan bersepeda adalah hal biasa. Nenek tua renta masih aktif berjalan kaki pun sudah biasa terlihat di pinggir jalan. Hal ini menandakan bahwa bukan hanya sehat saja tetapi masyarakat Jepang memiliki angka harapan hidup yang juga tinggi. Dari survey tersebut dikatakan bahwa umur rata-rata warganya mencapai 84 tahun.

Sore hari, saya sering menemukan warga yang sedang jogging menyusuri sungai. Di sekolah pun anak-anak dibiasakan untuk berolahraga minimal seminggu dua kali. Saat memasuki bulan ramadan, aktivitas olahraga ini jelas tidak berhenti. Bagaimana mau berhenti, toh orang Jepang tidak kenal puasa. Keluarga saya yang notabene muslim, harus menjelaskan kepada sekolah bahwa kami memiliki bulan tertentu untuk menjalankan ibadah puasa.

Mendengar hal ini tentu membawa respon yang mengejutkan. Bagaimana mungkin dalam kondisi matahari terik, anak-anak tidak makan juga tidak minum? Ramadan tahun pertama menjadi tantangan kami untuk menjelaskan secara logis kepada sensei.

Sejujurnya saya pribadi juga tak akan memikirkan untuk berolahraga saat puasa. Apalagi kebiasaan saat di Indonesia dulu juga mendukung. Pelajaran olahraga pasti ditiadakan saat ramadan tiba. Bagaimana mungkin, tubuh dalam kondisi haus dan lapar masih harus olah fisik? Tapi saat saya di Jepang, justru saya diingatkan oleh-Nya bahwa tak mengapa berolahraga saat berpuasa.

Sebuah buku yang disusun oleh dosen-dosen Ilmu Gizi Universitas Esa Unggul Jakarta menyebutkan jika pada saat berpuasa, tubuh sebenarnya tetap membutuhkan olahraga agar tetap sehat dan bugar. Selain itu, olahraga juga juga dapat membakar cadangan lemak. Saat berpuasa, dianjurkan untuk melakukan olahraga yang ringan-ringan saja. Peregangan, senam, berjalan kaki 20 menit, atau bersepeda jarak dekat, dan yoga bisa menjadi alternatif olahraga kala berpuasa. Intinya, kita tetap harus mencari jenis olahraga yang tidak banyak mengeluarkan keringat.

Mei, 2019

Bulan Mei menjadi bulan perhelatan khusus untuk sekolah Jepang mengadakan festival olahraga. Kegiatan serentak yang diadakan secara nasional, disebut dengan istilah undokai. Dalam festival (Athletic Day) itu, anak-anak menunjukkan atraksi yang melatih kebugaran fisik. Beberapa bulan sebelumnya mereka sudah latihan agar kompak saat festival digelar. Putra sulung saya, saat itu kelas dua. Tak ketinggalan, turut juga meramaikan festival olahraga tersebut.

Tibalah event yang ditunggu, bertepatan dengan bulan ramadan. Sensei pernah menjadi cemas memikirkan kondisi putra sulung saya yang berpuasa. Ramadan yang kami jalani di negeri sakura memang harus siap dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Bukan sama dan seragam, serempak seluruh manusia berpuasa. Tetapi kami sendirilah yang berpuasa, orang Jepang tidak. Sampai akhirnya, kami dipanggil oleh pihak sekolah untuk mendiskusikan hal tersebut.

“Is it okay no eating for Fadori?”

“Is it okay if Fadori watches his friends drinking juice in Athletic Day?”

Apakah tidak apa-apa jika tidak makan? Apakah anak tidak kepengin jika melihat temannya minum jus di festival olahraga?

Wajar sensei menanyakan hal demikian. Di bulan Mei, Jepang sudah mulai memasuki musim panas. Panasnya berbeda dengan di Indonesia. Lebih panas dan menghasilkan keringat lebih banyak. Terlebih di musim seperti ini, kegiatan sekolah di Jepang kebanyakan adalah outdoor physical training. Ya wajar, bulan-bulan sebelumnya Jepang mengalami musim dingin sehingga memaksa mereka berolahraga di dalam ruangan. Maka saat matahari bersinar terik di bulan Mei, adalah sebuah kesempatan untuk berolahraga di luar ruangan.

Mulanya, saya sempat terkejut sampai dipanggil oleh pihak sekolah untuk berdiskusi. Tetapi kemudian, saya memakluminya. Sensei hanya khawatir dan bingung. Puasa adalah hal yang baru mereka dengar. “Fasting, no eating?” Apakah puasa itu tidak makan?

Kewajiban kami sebagai seorang muslim lah yang harus menjelaskan. Seperti Nabi terdahulu yang selalu mengajarkan perintah-perintah Allah dengan lembut kepada kaumnya.

Inspirasi datang, Allah berikan. Dengan keberanian, kami menjelaskan, “Sensei, puasa buat orang muslim bukan tidak makan, namun mengganti jam makan. Anak tetap sarapan kok, hanya saja jamnya lebih pagi. Dan malamnya bebas mau makan apa saja.”

Seketika sensei manggut-manggut. Ya, logika adalah kunci saat menjelaskan prinsip yang harus dijalankan oleh orang Islam di Jepang.

Jika menjawab tidak makan, wah sudah pasti pikiran sensei shocked, “Apaaa tidak makan? Bagaimana nanti gizinya? Bagaimana nanti kesehatannya?”

Perlu ditanamkan bahwa puasa tidaklah mengganggu kesehatan. Puasa bukanlah tidak makan, namun mengganti jam makan.

Usai penjelasan itu, di tahun-tahun berikutnya, jika dekat dengan bulan ramadan, sensei justru yang mengingatkan, “Oh ya, sebentar lagi puasa ya.” Padahal kami saat itu malah belum sadar kalau sudah dekat dengan bulan ramadan.

Kata Rasulullah, ramadan itu bulan sabar. Jadi ya harap sabar saja menghadapi segala kejadian di bulan ramadan. Pengalaman berpuasa sambil terpaksa berolahraga di tengah lapangan dengan sinar matahari terik menyengat. Ditambah dengan godaan melihat orang Jepang minum air kemasan. Ah, segarnya!

Standard
japanalivestory

Berburu Komunitas Muslim

Fukuoka, 28 Mei 2019

Sore itu langkah kaki saya percepat menuju Hakozaki. Ada rasa tak sabar ingin segera bertemu saudara muslim yang sedang tinggal di Fukuoka. Dari apato, saya bersepeda menuju Stasiun JR Kasuga. Jaraknya hampir 1.5 kilometer dari apato dengan jalan yang menanjak. Usai tiba di JR Kasuga, sepeda saya parkirkan. Demi menghemat energi, saya memilih naik lift meski harus sedikit lebih lama dibandingkan naik tangga.

Tiket kereta menuju Hakozaki sudah ada di tangan. Nantinya saya akan melewati sebanyak lima stasiun sebelum sampai di stasiun pemberhentian dekat masjid. Dari Kasuga, lalu melewati Minami Fukuoka, Sasabaru, Takeshita, Hakata, Yoshizuka, dan terakhir Hakozaki Station. Dari balik jendela, saya mengamati pemandangan, sambil menyaksikan beberapa orang Jepang yang kadang ada yang sedang makan. Adalah godaan di bulan Ramadan, melihat orang lahap makan sementara perut saya keroncongan.

Berpuasa di negeri minoritas muslim bisa jadi tantangan tersendiri. Tidak banyak orang di sekitar yang berpuasa. Jadi ya bisa dikatakan saya berpuasa dalam keadaan sunyi. Selama di Jepang, saya harus membiasakan diri beribadah dalam kesunyian. Sunyi dalam arti sesungguhnya. Tidak ada tetangga muslim, hanya keluarga yang menemani dan menguatkan.

Di kesunyian itu, saya menemukan sesuatu. Bahwa dalam urusan ibadah kepada-Nya, terutama puasa, mau dilakukan dalam kesunyian maupun keramaian, tetaplah tujuannya sama, yaitu meraih takwa. Ya, puasa mau sunyi atau ramai, tujuannya tetap sama, yaitu meraih takwa.

Dalam situasi sunyi ramadan di Jepang, mau makan di siang hari ya tidak ada yang memperhatikan. Tidak ada rasa sungkan jika ada manusia yang melihat, toh orang Jepang tak banyak yang paham apa itu ramadan. Meski di Jepang ribuan manusia tak memperhatikan, tetap ada satu Yang Maha Esa, yang akan selalu mengawasi tingkah laku kita. Saya mau makan dengan sembunyi pun Allah Maha Tahu. Maka berpeganglah selalu pada iman agar kuat dalam situasi kesunyian itu.

Kereta JR Kagoshima Line yang saya tumpangi sudah tiba di Stasiun Hakozaki. Saya bergegas menuju masjid yang masih 300 meter lagi dengan berjalan kaki. Sesampainya di teras masjid, saya meletakkan sepatu lalu menaiki tangga menuju lantai dua tempat jamaah wanita. Saat itu sudah masuk waktu asar. Terlihat beberapa orang berperawakan Arab dan ada yang putih seperti bule. Saya tersenyum. Mereka mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”

Ucapan salam adalah bahasa universal. Jika kita bertemu orang muslim yang berbeda suku bangsa dengan kita, ucapkanlah salam. Salam itulah bahasa yang paling mudah.

Tak lama, tampak gerombolan orang berkulit hitam datang. Sepertinya dari Afrika. Mereka pun tersenyum dan mengucapkan salam. Lantas beranjak menuju tempat mengambil air wudu.

Bagi saya, berada di masjid yang berisi aneka ras dan suku bangsa, ada rasa berbeda. Seperti berada di Mekah, melaksanakan ibadah haji, bertemu dengan hamba Allah dari seluruh dunia.

Wanita bule yang tersenyum pada saya tadi, ternyata berasal dari Kazakhtan. Bahasa Inggrisnya lancar, sehingga saya bisa berbincang cukup lama dengannya. Beliau sedang mengikuti kelas bahasa di salah satu universitas di Fukuoka. Masjid Fukuoka menjadi langganan beliau berbuka bersama komunitas muslim, sebab bila berbuka sendiri di apato, beliau malah merasa tak nyaman. Memang ada tantangan lebih bila berada di tanah rantau tanpa membawa keluarga. Semua hal akan dilakukan sendiri. Maka bergabung dengan komunitas muslim di masjid seperti inilah, seorang perantau akan menemukan keluarga baru yang siap menemani.

Waktu berbuka masih dua jam lagi. Terdengar banyak wanita menaiki tangga menuju lantai tiga. Pastilah mereka sedang mempersiapkan berbuka bersama, kegiatan rutin yang dilaksanakan Masjid Fukuoka selama ramadan. Ada jadwal piket yang disusun bergantian untuk mempersiapkan buka bersama. Misalnya saja, minggu pertama piket dilakukan oleh komunitas Arab. Minggu kedua piket dilakukan oleh komunitas Pakistan-India. Minggu ketiga dilakukan oleh komunitas Indonesia-Malaysia. Begitu seterusnya hingga minggu keempat ramadan usai.

Tugas kelompok komunitas yang sedang piket itu mempersiapkan seluruh menu berbuka. Ada yang unik di sini, bahwa jamaah pria lah yang bertugas memasak aneka menu tersebut. Sedangkan jamaah wanita tinggal mengambil masakan yang sudah matang. Saya jadi ingat sebuah nasihat bahwa wanita sesungguhnya di Islam sangat dimuliakan. Pada dasarnya seluruh kebutuhan rumah tangga sebenarnya ditanggung oleh suami. Ibaratnya istri tinggal menikmati tanpa perlu bersusah payah memasak makanan.

Memang, dalam masyarakat telah tertanam kuat bahwa tugas istri dalam keluarga identik dengan kegiatan rumah tangga, misal memasak dan mencuci. Kewajiban lain adalah terkait dengan tugas mengasuh dan membesarkan buah hati. Tetapi, tugas istri dalam Alquran ternyata tak hanya seputar aktivitas domestik.

Ustaz Adi Hidayat menjelaskan, tugas istri telah dijelaskan dalam firman Allah dan wajib dilaksanakan. Ada dua tugas pokok istri di dalam Alquran surat keempat ayat 34.

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajiban sebagai istri), hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisa ayat 34)

Sesuai ayat tersebut, Ustaz Adi Hidayat menjelaskan tugas istri yang pertama adalah taat pada Allah. Ketaatan diwujudkan dengan patuh pada suami untuk segala hal yang baik. Ustaz Adi Hidayat mencontohkan permintaan suami pada istri yang wajib dilaksanakan adalah mengenakan hijab, menunaikan salat, menghadiri taklim. Jika suami meminta hal yang tidak baik maka istri boleh menolak dengan cara yang halus. Misalnya saja suami meminta untuk untuk melepas hijab dikarenakan malu di lingkungan kantornya tak ada wanita yang memakai hijab. Maka istri bisa menolak dengan halus. Perintah tersebut jelas telah melanggar syariat Allah.

Tugas kedua istri sesuai Surat An-Nisa adalah menjaga nama baik keluarga terutama suami, apalagi ketika sedang tidak bersama. Tugas menjaga nama baik suami dan keluarga harus dilakukan setiap saat di semua tempat.

Dengan penjelasan ini, semoga tugas istri tak lagi dipandang remeh. Tugas istri dalam Alquran sesungguhnya bukan seputar memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Tetapi bila istri rida melakukannya, pahala menanti dirinya.

Lewat acara buka bersama komunitas muslim inilah saya kembali diingatkan Allah. Sejatinya tugas memasak adalah milik suami (pria). Di lantai basement untuk jamaah pria, terdapat dapur besar lengkap dengan peralatan memasak. Ada panci yang sangat besar untuk memasak. Sedangkan dapur untuk jamaah wanita hanya berisi peralatan sederhana sekadar untuk mempersiapkan makanan.

Sore itu jamaah pria sibuk mondar mandir dari masjid menuju Gyomu Supermarket yang lokasinya di bawah Stasiun Hakozaki. Supermarket Jepang lokal yang menyediakan aneka bahan makanan halal. Ada ayam fillet berlabel halal, roti canai berlabel halal, dan aneka snack yang memudahkan para muslim. Kehadiran Gyomu Supermarket membawa angin segar bagi komunitas muslim. Kami bisa berbelanja makanan halal sembari beribadah di Masjid Fukuoka.

“Sungguh rahmat Allah akan selalu hadir di mana pun kita berada, maka janganlah berputus asa.”

Menu yang disajikan dalam buka bersama Masjid Fukuoka seringnya adalah nasi rempah seperti biryani. Ada beberapa snack khas masing-masing negara, seperti bakwan yang biasanya dihadirkan oleh komunitas Indonesia. Lewat acara berbuka ini, saya jadi tahu jika di Pakistan juga ada sejenis bakwan yang berbumbu kari.

Untuk menu takjil, dihadirkan buah, kurma dan roti. Snack yang saya sebut terakhir ini sempat membuat saya terharu saat memakannya. Bayangkan sejak Maret awal kedatangan di Fukuoka, saya tidak pernah mengudap roti karena takut dengan status kehalalan roti Jepang yang beredar. Di akhir Mei, saya diberi Allah roti halal yang disuguhkan oleh seorang Ibu asal Indonesia. Beliau pandai membuat roti bahkan membuka pre order jika ada yang memerlukan. Lewat acara buka bersama komunitas muslim inilah saya banyak mendapat pencerahan tentang makanan Jepang mana saja yang bisa dikonsumsi oleh muslim.

Di Jepang, sebagai seorang muslim harus berhati-hati dengan makanan. Allah memerintahkan kita untuk mengkonsumsi makanan yang halal. Orang Jepang bukan muslim, maka makanan yang mereka olah perlu kita waspadai asal bahan makanannya. Roti, misalnya. Kita perlu memperhatikan mentega yang digunakan apakah berasal dari bahan hewani atau nabati. Jika bahan hewani, tentu harus disembelih sesuai syariat. Jika bahan nabati, maka lebih aman kita konsumsi sebab berasal dari tumbuhan.

Tiga puluh menit sebelum azan magrib berkumandang, jamaah pria memanggil jamaah wanita bahwa makanan telah siap. Kami pun berjejer estafet untuk menerima makanan dari lantai basement, kemudian dibawa ke lantai tiga.

Bahagia saya rasakan, makan bersama saat berbuka seperti saat masih di tanah air dulu. Jika apa yang kita inginkan belumlah dapat terwujud, maka ciptakanlah sesuatu yang mirip dengan apa yang kita inginkan agar kebahagiaan dapat menyelimuti kita. Sama halnya, ketika berada di lingkungan orang Jepang, tak saya temukan suasana ramadan, maka ciptakanlah suasana itu bersama komunitas yang sekufu.

Kehadiran komunitas muslim sungguh telah menguatkan para perantau. Tinggal di negeri minoritas muslim bukanlah halangan. Dengan berburu komunitas muslim, kami seperti menemukan keluarga baru.

Standard
japanalivestory

Cahaya dari Kyushu

Tahun 2019 menjadi ramadan tahun pertama yang saya jalani di negeri minoritas muslim. Negeri yang terkenal sebagai julukan negeri matahari terbit. Belum pernah terbayang dalam benak saya bagaimana beribadah sebagai seorang muslim yang menjadi warga minoritas. Sebelumnya, Islam agama yang saya anut menjadi pemeluk terbesar di Indonesia. Saya merasa aman karena banyak teman. Sekarang di Jepang, saya sebagai muslim harus lebih mawas diri karena “sendiri”. Sendiri dalam tanda kutip karena memang tidak banyak orang muslim di sekitar saya.

Lingkungan di sekitar saya semuanya orang Jepang. Di apato (sebutan apartemen untuk di Jepang) yang saya tinggali, bertetangga dengan orang Jepang nonmuslim. Tidak seperti dahulu di Indonesia. Sebelah kanan, kiri, depan dan belakang rumah adalah pemeluk Islam. Menuju masjid pun tinggal ke gang belakang. Berkebalikan di Jepang, jarak apato dengan masjid kurang lebih delapan kilometer ditempuh dengan kereta.

Masjid di propinsi Fukuoka yang saya tinggali hanya ada satu. Terletak di wilayah yang bernama Hakozaki. Saya sadar diri bahwa untuk bisa hidup sebagai seorang muslim, maka saya harus menemukan keberadaan sebuah masjid. Bukankah jika merunut pada sejarah, masjid di zaman Nabi dibangun tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai pusat peradaban?

Bila mengacu pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, masjid menjadi pusat aktivitas umat Islam. Ketika itu Rasulullah saw membina para sahabat yang nantinya menjadi kader tangguh dan terbaik umat Islam generasi awal untuk memimpin, memelihara, dan mewarisi ajaran-ajaran agama dan peradaban Islam yang bermula dari masjid (Ahmad Putra dan Prasetio Rumondor dalam Jurnal UIN Mataram). Di zaman itu, masjid dipergunakan sebagai tempat musyawarah menyelesaikan persoalan umat dan pusat pendidikan. Maka, lewat masjid itu pula, saya yakin menemukan komunitas muslim. Siapa lagi yang bisa menjaga keimanan jika bukan diri sendiri dan bergabung dengan orang yang sekufu.

Saya teringat sebuah lagu gubahan yang berjudul Tombo Ati. Lagu tersebut menggambarkan dengan jelas lima nasihat untuk seorang muslim. Salah satu nasihatnya, bahwa kita diwajibkan berkumpul dengan orang saleh. Penyanyi Opick sukses membawakan lagu yang asalnya dari tembang Jawa ciptaan Sunan Bonang. Lima abad telah berlalu, tembang ini masih menempati posisi favorit, dan telah banyak diadaptasi di era masa kini. Tentu dengan terjemahan Bahasa Indonesia. Untuk memperjelas, berikut cuplikan Tombo Ati beserta artinya.

Tombo ati iku limo perkarane
(Obat hati itu ada lima perkara)

Kaping pisan moco Quran lan maknane
(Pertama, mengaji AlQuran berikut maknanya)

Kaping pindo sholat wengi lakonono
(Kedua, mendirikan salat malam)

Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
(Ketiga, berkumpul dengan orang saleh)

Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
(Keempat, memperbanyak berpuasa)

Kaping limo zikir wengi lingkang suwe
(Kelima, memperbanyak zikir malam)

Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
(Siapa yang bisa menjalani satu di antaranya)

Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
(Semoga Allah mencukupi)

Nasihat ketiga sangat pas ditujukan kepada siapa pun yang sedang berada di negeri minoritas muslim. Setiap diri kita perlu mencari pendukung agar bisa menjalani peran sebagai muslim di negeri minoritas. Komunitas muslim menjadi salah satu pendukungnya. Sejatinya, “Manusia itu laksana sekawanan burung, memiliki naluri untuk berkumpul. Berkawan dengan orang saleh membawa dampak yang baik, karena kawan itu akan saling memengaruhi.”

Bulan Mei 2019, awal mula ramadan di Fukuoka, saya merasa yakin dapat menemukan komunitas muslim yang telah lama saya incar. Dengan berada di masjid, pastilah saya menemukannya. Bertepatan dengan acara buka bersama yang selalu diadakan oleh masjid, saya menghadirinya. Dari acara tersebut, saya berkenalan dengan seorang ibu asal Indonesia yang pandai membuat aneka roti halal. Ada juga perempuan muslim asal Kazakhstan yang sedang belajar bahasa Jepang. Bagian paling menyentuh, saat saya mengetahui ada pasangan Japanese di Fukuoka yang menjadi mualaf.

Tak hanya berbincang, saya pun turut memperhatikan setiap bagian pada bangunan Masjid Fukuoka. Bangunan di lantai pertama digunakan untuk jamaah pria. Sedangkan jamaah wanita, berada di lantai dua. Lantai tiga terdapat ruang kelas seperti aula dan dapur kecil untuk jamaah wanita. Sementara di lantai basement terdapat perpustakaan, aula serbaguna dan dapur besar lengkap dengan peralatan memasak untuk jamaah pria.

Saya terkesima dengan ruang kelas yang ada. Ruang kelas di Masjid Fukuoka lebih banyak dipergunakan untuk nonmuslim. Nonmuslim dapat memasuki masjid untuk menonton salat, atau bahkan berdiskusi tentang Islam jika mereka tertarik. Ternyata banyak juga orang Jepang yang tertarik dengan Islam, maka masjid lah yang bertugas melayani orang-orang tersebut.

Tujuan utama Masjid Fukuoka adalah untuk melayani kepentingan masyarakat muslim area Kyushu. Masjid mengatur dan mengadakan salat berjamaah dan kegiatan keagamaan. Selain itu, masjid juga membuat informasi tentang Islam yang mudah dipahami bagi orang Jepang. Banyak kegiatan masjid yang dapat diikuti oleh muslim dan nonmuslim, seperti kelas memasak makanan halal, seminar dan sesi dialog sesekali.

Tak hanya itu, Masjid Fukuoka juga menggelar pernikahan untuk muslim, juga membantu orang-orang Jepang menjadi mualaf dan mengucapkan syahadat. Untuk pengurusan jenazah muslim pun, masjid ini juga menyediakan sarana tersebut.

Di akhir pekan, masjid menawarkan pelajaran bahasa Arab, belajar membaca Alquran, dan menghapal surat pendek untuk anak-anak. Masjid Fukuoka juga melayani penerbitan sertifikasi halal pada makanan. Beberapa kedai khas Jepang yang berada di Fukuoka, sebagian telah memperoleh sertifikat halal dari Masjid Fukuoka. Pantaslah masjid menjadi pusat pendidikan seperti yang telah Rasul ajarkan. Perannya tak hanya sebagai sarana ibadah, tetapi juga edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat.

Masjid Fukuoka memiliki nama lengkap Al Nour Islamic Center. Adalah masjid pertama di pulau Kyushu yang selesai dibangun tahun 2009, lebih tepatnya resmi dibuka pada 12 April.

Awal mulanya, himpunan mahasiswa Kyushu University Muslim Student Association (KUMSA) memprakarsai ide pembangunan masjid pada tahun 1998. Di tahun itu KUMSA bergerak mengumpulkan sumbangan dana dari Jepang dan luar Jepang. Pada tahun 2006, tanah berhasil dibeli. Setelah serangkaian diskusi dan perizinan, pembangunan dimulai tahun 2008. Setahun setelahnya, selesailah bangunan masjid yang lokasinya berjarak 300 meter dengan Stasiun JR Hakozaki. Hanya lima menit berjalan kaki dari pintu keluar barat stasiun. Lokasinya sangat strategis bukan?

Masjid Fukuoka berhasil menjadi cahaya di Pulau Kyushu. Benar adanya bahwa nama adalah doa. Di dalam Islam, nama bukan sekadar penanda. Nama adalah doa bagi diri dan kehidupannya. Seperti kata Al Nour yang tersemat pada nama Masjid Fukuoka, bermakna cahaya. “Nour” adalah “Cahaya”. Diharapkan Masjid Fukuoka dapat memberikan pencerahan tentang Islam kepada masyarakat Jepang di Pulau Kyushu. Masjid Fukuoka berhasil menjembatani dan mencerahkan masyarakat Fukuoka khususnya, baik muslim maupun nonmuslim.

Standard
Ichigo Ichie

Sembuh dari Kegagalan

Kejutan dari Tuhan selalu mengiringi sepanjang hidup kita. Ada kejutan manis, juga kejutan pahit. Ada keberhasilan, pun juga ada kegagalan. Semuanya datang silih berganti bagaikan permainan bianglala. Awalnya kita memulai dari bawah, perlahan berputar, hingga sampai ke lingkaran teratas, dan kembali lagi ke bawah. Roda pasti berputar.

Di saat Tuhan memberikan momen tak terduga seperti kegagalan misalnya, awal mula kita pasti shocked dan bahkan bisa jadi tak terima. Kita malah mempertanyakan, “Kok bisa aku gagal padahal usahaku sudah sempurna?” Kawan, ingatlah bahwa usaha dan takdir itu berbeda irisan. Jika usaha kita maksimal, namun tak tertulis dalam takdir-Nya, sudah pasti kita harus belajar dari arti kata kegagalan. Ada pesan baik yang disampaikan Tuhan lewat kegagalan.

Dian Sastro artis cantik yang terkenal akan kepandaiannya itu pun juga pernah gagal, kawan. Dia bermimpi sekolah tinggi hingga ke luar negeri. Hasil jerih payahnya berakting di dunia perfilman dia tabung untuk membiayai rencananya tersebut. Entah mengapa, ada saja hal yang mencegahnya untuk segera berangkat studi, padahal tabungannya sudah terkumpul. Berulang kali Dian Sastro mencoba, tetapi kegagalan untuk berangkat selalu menyertai. Dia pun mencoba menerima kenyataan dan mengubah kegagalan menjadi kebermanfaatan. 

Tuhan menuntunnya untuk mendirikan yayasan yang menaungi anak-anak tidak mampu bersekolah. Anak-anak kurang beruntung yang kebanyakan ada di Indonesia Timur. Lewat yayasan tadi, uang tabungan Dian Sastro semakin bermanfaat untuk umat, tak hanya ia manfaatkan untuk diri pribadi saja. Kini semakin banyak anak kurang beruntung yang berhasil disekolahkan oleh Dian Sastro. Barulah dia bangga, bahwa gagal itu tak mengapa, percayalah bahwa ada pesan khusus yang disampaikan Tuhan jika kita mau merenunginya. 

Bisa jadi kita pernah sombong, bisa jadi kita pernah jumawa. Bisa jadi kita dijauhkan dengan sesuatu dalam rangka akan diselamatkan Tuhan. Sesuatu kita kejar, yang menurut kita baik, belum tentu baik pula menurut-Nya. Ada ukuran tertentu yang menjadi standar Tuhan yang kita sendiri tak mampu melihatnya saat momen kegagalan itu tiba. Manusia biasanya hanya akan paham setelah waktu menyembuhkan. Akhirnya manusia tersadar, “Ah, terima kasih Tuhan, ternyata ini maksud kebaikan yang Engkau sampaikan lewat kegagalan kemarin.” 

Pada titik tertentu, kegagalan yang kita alami akan menyadarkan kita. Bahkan kita bisa bersyukur karena telah sembuh dan berhasil melewati kegagalan tadi. Momen tak terduga seperti ini, akan disuguhkan Tuhan pada kita sekali saja, maka petik hikmahnya dengan baik. Berprasangka baik kepada-Nya, bahwa di balik kegagalan ada keberhasilan. Memang awalnya kita buta, tak mampu melihatnya. Tapi percayalah, jika kita selalu berpikir positif maka Tuhan akan menunjukkan jalan dengan cara-Nya.

Gagal juga merupakan kesempatan dan pengalaman yang akan semakin memperkuat kita mengarungi samudera kehidupan. Hidup hanya sekali, kesempatan datang sekali, kegagalan juga datang sekali. Pun jika kegagalan harus datang lagi berulang kali, pastilah pelajaran dari setiap kegagalan itu akan berbeda. Maka nikmati sakit kita, sedih kita, dan kegagalan kita. Sekali ini saja.

#30DWC

Standard
Ichigo Ichie

Merawat Persahabatan

Seiring bertambahnya usia, kita mengalami pergeseran dalam memaknai arti kata sahabat. Di usia kanak-kanak, sahabat lebih kita kenal dengan sebutan teman. Siapa pun yang mau bermain dengan asyik dan seru, itulah teman. Tumbuh menjadi anak remaja, arti kata sahabat berbeda dengan teman. Sahabat biasanya mengarah pada geng (gerombolan) atau kelompok remaja yang memiliki kesamaan, sedangkan teman ya sekadar orang yang kita kenal. Memasuki usia dewasa, makna sahabat akan lebih spesifik, yaitu orang yang bukan hanya menemani di kala senang saja, tetapi juga mendukung kita di kala susah. 

Menemukan seseorang untuk menjadi sahabat bisa dikatakan susah-susah gampang. Jika sudah bertemu, merawatnya pun juga tak mudah. Terkadang ada saja konflik yang mengiringi. Saat awal kuliah, seseorang bisa bersahabat baik, lima tahun kemudian bisa jadi belum tentu sebaik dulu. Perbedaan tempat bekerja bisa merenggangkan jalinan persahabatan. Dulu sih mudah saja karena kita pernah satu kampus, namun ketika kuliah telah usai ya hanya segelintir orang saja yang masih bisa awet menjadi sahabat kita.

Dua orang bisa saling bersahabat dengan awet apabila memiliki kesamaan nasib dan sepenanggungan. Jika sudah banyak perbedaan tujuan ya seringnya persahabatan akan berakhir. Persahabatan juga bisa usai apabila sudah tak lagi sejalan atau malah salah satu pihak memanfaatkan sahabatnya. Pantaslah apabila ada nasihat yang beredar, “Bertemanlah kamu dengan sikap yang apa adanya, bukan ada apanya.” Persahabatan akan semakin runyam dan renggang bila ada rasa saling iri, dengki, atau malah ingin menjatuhkan seseorang yang disebut sahabat tadi. 

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpesan bahwa seseorang akan bersama dengan orang yang dia cintai. Artinya, Tuhan akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang cocok. Terlebih jika kita langsung meminta kepada-Nya untuk dihadirkan teman-teman yang saling memberi kebermanfaatan. Tanamkan ketulusan dalam berteman, sehingga kita akan dipertemukan dengan orang-orang yang tulus pula.

Memiliki sahabat yang tulus memang tak ternilai harganya. Jika kita memiliki salah satunya, bersyukurlah, jika belum memiliki rawatlah pertemanan yang terjalin saat ini agar berujung pada ketulusan. Katakan pada diri sendiri untuk berusaha menjaga pertemanan, karena belum tentu kita akan menemukan sosok yang baik lagi di kesempatan berikutnya. Maklumi teman, hargai perbedaan. Hal yang tidak mudah, namun bila berhasil akan menjadi persahabatan yang indah.

#30DWC

Standard
Ichigo Ichie

Momen tak Terduga

Adalah sebuah tantangan saat kita bisa mencintai sesuatu yang dulunya pernah kita benci. Hal yang sulit dilakukan apabila hati seseorang tidak lapang. Kunci mencintai ya menyukai terlebih dahulu. Tetapi bagaimana jika keadaannya berkebalikan? Mencintai namun diawali dengan membenci. Sulit memang. Tapi bukan berarti tidak mungkin.

Ada seorang gadis yang sangat tidak menyukai kegiatan cuci piring. Apabila sang ibu memintanya membantu di dapur untuk membersihkan piring bekas makan, pastilah anak gadis itu menggerutu. Seiring berjalannya waktu, sang gadis telah menjelma menjadi seorang ibu. Pergi jauh mengikuti kemana pun sang suami ditempatkan bekerja. Ia tak lagi berdekatan dengan ibunya. Dengan kata lain, ia harus mandiri, melakukan segala sesuatunya sendiri, termasuk kegiatan cuci piring tadi. Ya mau tidak mau ia harus berkawan dengan barang-barang kotor. Meski awalnya ia terpaksa melakukannya, lambat laun kegiatan mencuci piring adalah hal yang biasa baginya. Bisa dikatakan, ia tak lagi membencinya. 

Ada seorang wanita yang sangat berambisi menjadi wanita karier. Tahun demi tahun ia jalani dan ada rasa bangga yang membuncah dalam hatinya. Suatu saat apa yang ia banggakan tadi haruslah kandas di tengah jalan. Ia banting setir, bukan lagi menjadi siapa-siapa. Adanya tuntutan sebagai ibu yang harus di rumah, mengingat tidaklah mungkin meninggalkan buah hatinya untuk dijaga oleh orang lain kecuali ibunya. Maka keputusan untuk menjadi ibu rumah tangga pun ia ambil. Bekerja di perusahaan yang dulu ia banggakan bukan lagi menjadi kepuasan diri. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan menjadi ibu rumah tangga. Keadaan berbalik, ada rasa sakit di hatinya disebabkan karena ia tak lagi menjadi wanita bekerja. Waktu pun berlalu. Berawal dari luka dan terpaksa, sang wanita tadi perlahan mencintai pekerjaannya yang hanya di rumah saja.

Dua gambaran di atas bisa kita renungi bersama. Betapa satu hal yang awalnya keterpaksaan, setelah dibiasakan akan berubah menjadi hal yang dicinta. Hati manusia itu ada pemegang kendalinya. Maka perlu waspada dan secukupnya saja dalam membenci dan mencinta. Bisa jadi awalnya kita sangat cinta dan kemudian berubah jadi benci. Atau bisa jadi awalnya kita sangat benci lalu berubah jadi suka. 

Di awal, gadis tadi mengira bahwa selamanya dia tidak akan cuci piring. Di awal, wanita tadi mengira bahwa selamanya ia akan menjadi wanita karier. Keduanya lupa dan tak sadar bahwa semua hal tak akan abadi. Bukti bahwa pengetahuan manusia itu sangat terbatas. Manusia tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan. 

Maka, hiduplah saat ini dengan secukupnya tanpa harus bersikap berlebihan pada segala sesuatu. Dalam hidup, terkadang Tuhan menyuguhkan momen yang tak terduga. Tujuannya adalah agar kita lihai menakar seperlunya pada apa-apa yang melekat di hati. Tak hanya itu, kehadiran momen yang tak terduga, bisa mengajarkan manusia untuk beradaptasi pada perubahan. Berusaha segala cara demi perubahan hidup terasa nyaman. Berdaya upaya agar menghargai, menikmati, dan menyukai momen yang datangnya tak terduga. Kita semua pasti bisa.

#30DWC

Standard
Ichigo Ichie

Momen Pertumbuhan Anak

Tingkah dan polah anak-anak itu beranekaragam. Ada anak yang menggemaskan, aktif, pendiam, pemalu, dan lain sebagainya. Semua sifat yang melekat dalam diri setiap anak memang unik. 

Komentar orang tua terhadap tingkah anak juga beragam. Ada orang tua yang menganggapnya sebagai anugerah, namun banyak juga yang menganggapnya sebagai musibah. Pernah mendengar kan kisah orang tua yang merutuk kesalahan sang anak? “Ih cerewet banget sih kamu, banyak tanya!” Dengan anak banyak bertanya, sebenarnya ia punya sikap positif yaitu mengkritisi segala sesuatu. Jika potensi ini dikembangkan maka akan tumbuh dengan optimal. 

Masa mengasuh anak memang masa yang merepotkan penuh perjuangan. Sebagai orang tua akan memetik hasilnya kelak saat anak dewasa. Toh juga sudah menjadi kewajiban orang tua bukan untuk mengasuh sang anak? Kelak jika pun si anak akan berbalik menjadi anak baik dan bergantian mengasuh orang tua saat sudah renta, itu adalah bonus yang didapatkan orang tua tersebab telah tulus mengasuhnya di waktu kecil.

Jika dijabarkan, tingkah anak kecil memang seringnya mengesalkan. Tapi saat kita melihatnya dari kacamata yang lebih positif, tentu hal yang mengesalkan tersebut akan berubah jadi menyenangkan.

Sebagai contoh, ada anak yang sudah usia SD tetapi masih saja mengompol. Tentu kebiasaan ini sangat menjengkelkan bagi orang tuanya. Ada banyak peralatan yang harus dibersihkan disebabkan oleh kotoran air pipis. Kasur, selimut, bantal guling, pakaian, dan lain sebagainya. Jika hingga usia sekolah dasar, anak masih belum juga berhasil menghentikan kebiasaan mengompolnya, sudah sepatutnya sebagai orang tua terus introspeksi diri dan membantunya, bukan malah menyalahkannya.

Anak yang berbuat kurang baik, tentu ada yang salah dari pengasuhan yang diberikan orang tua. Lagi pula, jika mau meresapi, bukankah momen membesarkan anak ini hanya terjadi sekali seumur hidup dan tidak akan terulang lagi? Sehingga sebagai orang tua perlu memaknainya dengan bijak. Tidak apa jika anak masih berbuat salah, di sinilah letak ujian sebagai orang tua.

Tengoklah di luar sana, berapa banyak pasangan suami istri yang mengingankan memiliki anak namun belum juga Tuhan izinkan untuk memilikinya. Bagi pasangan ini, anak yang mengompol tentu bukan masalah besar dibandingkan dengan kesedihan mereka selama menanti kehadiran buah hati. Maka, jika kita sedang di posisi sebagai orang tua yang telah memiliki buah hati, syukurilah apa yang ada saat masih diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk mengasuh anak. Ya meskipun ada banyak kerepotan yang harus kita hadapi ketika membersamai proses tumbuh kembang anak-anak yang hanya terjadi sekali seumur hidup itu.

#30DWC

Standard
Ichigo Ichie

Manusia Menyukai Momen 

Sebelum ditemukannya kamera, manusia menyimpan momen ke dalam hatinya. Setelah ada kamera, tambahan memori pun hadir. Kehadiran kamera semakin menambah kesan bagi setiap momen yang telah lewat. Setiap kita bisa menengok lembar demi lembar foto yang berisi kenangan. 

Ketika zaman semakin serba digital, foto pun bisa tersimpan dengan jumlah memori yang lebih besar. Tanpa harus mencetaknya, kita bisa melihat hasil bidikan momen bersama orang-orang tercinta. Pesatnya media sosial semakin menambah memori yang bisa kita gunakan sebagai penyimpan kenangan. Berapa banyak orang yang telah memanfaatkan media sosial mereka untuk menyimpan foto kenangan? “Titip ya, facebook,” begitu dalihnya. 

Foto semakin tersebar di media sosial. Entah untuk mengabarkan momen wisuda, pernikahan, kelahiran anak, sampai momen kematian juga sering terlihat di beranda media sosial. Betapa manusia sangat menyukai momen dan mengabadikannya. Kamera membantu manusia membuat ketidakabadian menjadi abadi. 

Ambil saja contoh ketika musim gugur tiba. Musim yang menggambarkan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Pasti ada masanya daun-daun itu berguguran. Kamera-lah yang membantu tetap mengabadikan momen gugurnya daun-daun. 

Meski tanpa kamera pun, sebenarnya kita sangat perlu untuk menghargai setiap momen saat ini yang kita miliki dengan orang lain, karena momen itu mungkin tidak akan pernah terjadi lagi. Sebuah pertemuan memang tampak seperti rutinitas sederhana, tetapi yakinlah untuk menikmatinya secara mendalam karena momen tersebut tidak akan pernah terulang kembali.

#30DWC

Standard
Ichigo Ichie

Bukan Mengkhawatirkan Masa Depan, namun Menikmati Saat Ini

Hari raya lebaran yang sedianya menjadi hari bahagia, berubah menjadi duka bagi saya dan keluarga. Meski begitu, saya tetap berusaha menjalani hari raya sebagaimana biasa, seolah tak terjadi musibah kemalingan. 

Di hari kedua Idulfitri, saya sedang dalam perjalanan. Ketika membuka pintu mobil di pemberhentian, saya dibuat kaget dengan kehadiran seorang laki-laki lusuh yang kemunculannya sangat tiba-tiba. Kulitnya hitam, mata memerah, juga tak memakai alas kaki. Ia diam saja, namun tangan mengatung memberi tanda meminta. Jantung saya berdegup sangat kencang. Suami sigap ketika itu, langsung saja memberinya uang. Kemudian ia berlalu begitu saja. Selesai kami menutup pintu mobil, sosoknya hilang, tak lagi terlihat di sisi jalan.

Di hari ketiga Idulfitri, Tuhan memperlihatkan lagi kejadian yang menguji keikhlasan kami. Ketika kami tak banyak memiliki pegangan uang, masih sanggupkah kami berbagi? Di bangku peron yang sedang saya duduki ada wanita paruh baya. Beliau mengaku tak punya uang untuk membeli tiket ke kampung halamannya. Dengan berbagai alasan beliau menceritakan dan saya mendengarkan. Saya mengerti maksudnya, pastilah ingin meminta uang. Saya tanyakan harga tiket, lalu saya berikan uang tersebut. Setelah itu beliau mengucap terima kasih dan pergi menghilang dari pandangan saya. 

Saya tersadarkan bahwa saya dalam kondisi sedang diuji oleh Tuhan dari dua kejadian pasca kemalingan tersebut. Terus menerus saya menguatkan diri dan keluarga. Pasti ada yang salah dengan sikap dan perlakuan keluarga saya pada Sang Pemilik Harta. Hingga Tuhan mengambil paksa atas harta yang susah payah saya kumpulkan. Meski sebenarnya ada banyak keinginan yang saya tunda demi memiliki tabungan di masa depan. Namun ternyata Tuhan memberikan jawaban yang sangat mengejutkan. 

Saya dan keluarga berbenah, terutama memperbaiki kualitas ibadah. Tak luput saya pun memutar balik kejadian-kejadian di masa lalu. Sekiranya ada kesalahan apa sehingga Tuhan menegur sedemikian rupa. Di musibah ini Tuhan sedang mengingatkan agar jangan terlalu menjaga harta jika tak ingin dikeluarkan dengan paksa. Berbagilah kepada sesama. Itulah hakikat bentuk rasa syukur yang sesungguhnya. Dengan berbagi, harta tak akan dikurangi. Justru dengan berbagi itulah, keberkahan harta kian bertambah.

Ketika di suatu kesempatan, Tuhan memberikan rezeki lebih, pergunakanlah sesuai kebutuhan. Justru janganlah semakin pelit saat harta bertambah. Rezeki telah dibagi sesuai porsi. Tuhan Maha Mengetahui jika hamba-Nya membutuhkan sesuatu, maka pergunakanlah rezeki tersebut untuk kebutuhan. Misalnya saja jika anak butuh bersekolah, pergunakanlah. Jika di rumah sedang memerlukan mesin cuci, belanjakanlah. Rezeki dikirim Tuhan untuk dipergunakan, bukan malah untuk disimpan. 

Tak lama setelah musibah kemalingan di hari raya, sensei mengabarkan untuk segera memesan tiket pesawat pulang pergi Indonesia-Jepang. Sensei juga memberi tahu agar tak perlu khawatir atas biaya summer school karena semuanya telah di-support oleh dana dari universitas. Betapa … Tuhan sedang memberikan jawaban kepada kami bahwa tugas manusia bukan untuk mengkhawatirkan masa depan, namun menikmati apa yang sedang dimiliki saat ini

Terima kasih atas pelajaran yang Engkau berikan. Saya dan keluarga kian memaknai bagaimana rumus kehidupan.

Lepaskanlah, sebab di setiap perjalanan selalu ada tentang pertemuan dan perpisahan, tentang kebersamaan dan merelakan, tentang berpelukan dan melepaskan, tentang kehadiran dan tentunya kepergian. 

Atas apa-apa yang telah lenyap karena kemalingan, ikhlaskan. Karena ada dia yang jauh lebih membutuhkan.

#30DWC

Standard
japanalivestory

Rekomendasi Film untuk Keluarga

Film yang direkomendasikan sama suami buat ditonton bareng sekeluarga. Dari judulnya saja, saya udah antusias. Seperti berkaca pada keluarga sendiri, berkisah tentang perjuangan.

Survival Family The Movie

Awal mula, keluarga ini hidup “normal”. Ya layaknya keluarga metropolitan Tokyo. Ayah bekerja keras, ibu mengurus rumah, anak belajar di sekolah. Namun, keluarga ini kurang dalam hal kedekatan. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan gadget dan game. Hingga suatu saat listrik di Tokyo mati total. Tak tahu akan menyala kapan lagi.

Kehidupan berubah drastis. Dari yang serba pakai listrik, menjadi  manual. Anak tidak pakai gadget, ibu tak lagi menggunakan kompor listrik dan tak bisa berbelanja makanan jadi. Kereta mati total. Pilihan hanya dua : berjalan kaki atau bersepeda.

Masyarakat metropolitan Tokyo memilih kembali ke kampung halaman masing-masing. Keluarga ini kembali ke Kagoshima, ujung selatan pulau Kyushu. Gimana perjuangan mereka? Tonton aja di sini.

Bagus buat merenung, bila saja kehidupan di bumi tanpa listrik dan kembali pada kehidupan tradisional. Siap kah?

Dari film ini diajarkan bahwa, “kemewahan tak bisa mengenyangkan.”

Standard