Self-Improvement

Beradaptasi di Situasi Sulit

Garis hidup siapa yang tahu. Allah sembunyikan. Dalam rangka apa? Supaya kita beriman. Bukankah salah satu iman itu iman kepada takdir?

“Ketika kamu sedih karena sesuatu yang kamu impikan belum ditakdirkan untukmu …⁣

Jangan jangan kamu tidak rida atas takdir Allah untukmu.

Maka segeralah benahi hatimu.⁣”

Menata hati, menyelami apa yang terjadi, sadar diri. Menyiapkan segalanya.

Tiba di Jepang, kami sendiri. Lalu sadar, bahwa sejatinya kita akan kembali pada-Nya sendiri.

Semua kondisi terbalik. Apa yang ada di Indonesia tidak ada di Jepang. Apa yang ada di Jepang tidak ada di Indonesia.

Lepaskan semua rasa yang pernah ada, syukuri apa yang ada di depan mata. Bagaimana bisa survive? Hanya bisa memohon pada Allah. Dan dijalani saja, dengan YAKIN.

Khawatir? Sudah pasti dan jangan ditanya. Manusia tempatnya khawatir. Belum pindah ke Jepang pun saya sudah khawatir ini itu.

Saat kekhawatiran melanda, sejatinya Allah inginkan kita lebih mendekat kepada-Nya, hanya menghamba kepada-Nya, tidak bergantung pada makhluk selain-Nya.

Tiap orang sudah pasti jalannya beda-beda, situasi sulitnya juga berbeda. Tapi kita bisa berpegang pada hal yang sama, Allah Subhanahuwata’ala.

“Bersandarlah hanya pada Allah. Tak usah khawatir, Allah akan senantiasa memberi pertolongan dan petunjuk.” (Tafsir QS. Al-Baqarah : 218)

Mungkin kalimat ini bisa sedikit menenangkan, “Mengko lak yo ono dalane.” Nanti juga pasti ada jalannya.

Jika di ilmu psikologi ada istilah penyesuaian (adjustment), yang merupakan proses interaksi secara terus menerus dengan diri sendiri, orang lain dan dengan lingkungan sekitar. 

Ada penyesuaian diri adaptive/adaptasi yang lebih mengarah ke badaniah. Dan ada penyesuaian diri adjustive yang lebih bersifat psikis. Semoga kita semua berhasil melalui keduanya.

Adjustment ini dalam rangka menyeimbangkan kebutuhan yang bertentangan. Pasti dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalaminya. Contoh mudah adalah saat lapar. Kita mau makan, harus ada usaha panjang.

Jika kita sukses melalui adjustment/penyesuaian ini maka otomatis kita akan punya kualitas hidup yang tinggi. Atau kalau di WHO ada 4 tanda-tanda kesehatan mental yang di-share sejak awal KulWap #SerialSayurLodeh.

Namun jika kita gagal, apa yang akan terjadi? Mereka yang tidak dapat beradaptasi dengan baik lebih cenderung mengalami kecemasan yang berlebihan, putus asa, perilaku sembrono, dan lain sebagainya. Semoga jangan sampai terjadi dalam diri kita semua.

“Life is a series of natural and spontaneous changes. Don’t resist them; that only creates sorrow. Let reality be reality. Let things flow naturally forward in whatever way they like.”

― Lao Tzu

Mengutip dari Lao Tzu di atas, bahwa kehidupan ini merupakan perubahan yang alami dan spontan. Jangan menolaknya, karena akan menimbulkan kesedihan. Biarlah sesuai dengan kenyataan. Biarkan mengalir secara natural, berjalan seperti apa adanya.

Sesuai filosofi #SerialSayurLodeh, yang merupakan SAYUR TUJUH RUPA, semoga Allah senantiasa memberikan pitulungan (pertolongan) pada kita semua di situasi sulit di manapun dan bagaimanapun yang sedang kita hadapi. Aamiin.

Badai Pasti Berlalu. InsyaAllah.

*Materi KulWap #SerialSayurLodeh Sehat Mental dari Rumah #MenuHariKe5 kolaborasi dengan @happinaprojects awal pandemi 2020

Standard
japanalivestory

Tantangan Mengasuh Anak di Jepang secara Islami

Cerita-cerita tentang bersihnya negara Jepang, rapi dan disiplinnya warga Jepang telah banyak beredar. Kita bisa melihat secara nyata lewat video di media. Ditinjau dari sisi perilaku Islami, Jepang lebih menonjol daripada muslim itu sendiri. Minim kasus pencurian, tidak ada warga yang parkir kendaraan secara sembarangan, dan sederet perilaku yang bisa dikatakan mendekati sunah Nabi. Ya, Jepang terkenal akan adabnya yang baik. Tapi adab yang baik saja tanpa mengenal Tuhan tentu tidak sempurna.

Buktinya, banyak kasus bunuh diri di negeri sakura yang disebabkan stress karena pekerjaan. Beda cerita jika yang mengalami stress itu muslim, tentu telah menyandarkan sepenuhnya atas apa yang terjadi kepada Allah Swt. Ada masalah larinya ke Allah. Belum dapat rezeki, tetap percaya pada Allah. Inilah yang disebut konsep tauhid, percaya bahwa ada Tuhan, percaya bahwa Allah itu satu. Sebuah konsep yang tentu tak dimiliki orang Jepang.

Mengajarkan adab untuk menjadi orang baik dan menjalani kehidupan yang lurus itu mudah, tetapi tidak mudah untuk menanamkan prinsip tauhid, yaitu sadar akan adanya Tuhan. Karena kesadaran akan Tuhanlah yang pada akhirnya menentukan tujuan seseorang hidup di dunia. Menjadi seorang muslim tahu betul apa maksud penciptaan dirinya. Berkebalikan, orang Jepang masih bingung, untuk apa ia hidup di dunia. Jika merasa tak berguna hidupnya, maka bunuh diri adalah solusinya. Kala hidup terasa amat berat dan terhimpit, muslim akan kembali pada Allah. Ada sandaran hati. Susah senang kembali kepada Allah.

Dilahirkan sebagai muslim, tentu telah mengenal konsep tauhid sejak dini. Belum mengenal sekolah pun, anak-anak muslim telah rajin ke masjid untuk belajar Al-Qur’an, mendengarkan kisah Nabi, belajar doa. Sementara anak Jepang, di sekolah tidak berbicara tentang Tuhan atau doa. Masjid juga tak banyak. Kalau pun ada, suara azan pun tidak terdengar sampai keluar. Kondisi demikian, tentunya sulit untuk menanamkan kesadaran akan adanya Tuhan pada anak-anak ketika hampir tidak ada unsur spiritual dalam budaya Jepang.

Ambil contoh saja kala ramadan datang. Lingkungan di sekolah tidak ada yang berpuasa, sementara anak harus berpuasa. Melihatnya saja tak tega, bukan? Lain cerita bila tinggal di lingkungan Islami. Orang tua tentu tak perlu was-was apakah anaknya berhasil puasa atau tidak, karena ada motivasi dari lingkungan sekitar. Melihat teman sama laparnya, sama hausnya. Bila di Jepang, seorang anak muslim akan tetap menyaksikan kawannya yang asyik melahap makan siang. Iman anak sekecil itu telah diuji, kuat tidak menahan godaan?

Contoh lain saat waktu salat datang. Meski tidak ada azan di lingkungan Jepang, kewajiban menjalankan salat harus dikerjakan. Beruntung kini telah tersedia aplikasi yang dapat mengumandangkan azan. Meskipun lewat gawai, tetap saja disyukuri kehadirannya. Pernah ada satu cerita, sepulang sekolah anak saya harus salat Zuhur. Kawan Jepangnya telah menanti di depan pintu untuk mengajaknya bermain ke taman. Ia pun izin sebentar, “Aku ibadah dulu, ya. Kamu tunggu di sini.”

Kawan Jepangnya turut menyaksikan ia salat. Melihatnya beribadah, kadang malah mengikuti gerakan. Kebiasaan seperti ini harus kita pahamkan kepada anak, bahwa sebelum berkegiatan, sebagai anak muslim harus melaksanakan kewajiban untuk salat. Di rumah, saya buat peraturan bahwa tidak boleh keluar bermain bila belum salat Zuhur dan Ashar. Dengan begitu, anak juga belajar bernegosiasi dengan kawan Jepangnya. Ada waktu tertentu yang ia tidak bisa langsung bermain karena harus menjalankan ibadah terlebih dahulu.

Tantangan lain, istilah-istilah dalam agama Islam, seperti assalamualaikum, alhamdulilah, juga tidak terdengar di lingkungan Jepang. Ucapan tersebut di lingkungan muslim seperti hal yang biasa. Tetapi ketika berada di kalangan minoritas, ucapan ini sangat berarti. Mendengarnya sekilas seperti diingatkan bahwa ada Allah. Alhamdulilah, segala puji bagi Allah, ada konsep tauhid di sana. Mengakui bahwa apapun yang kita terima di dunia ini berasal dari Allah.

Tak hanya dari anak, tantangan juga didapat orang tua yang memiliki kewajiban untuk menanamkan keimanan dan tauhid pada anak. Iman ibarat tulang punggung agama. Sebagai penopang, maka ia harus tegak. Pondasinya harus kuat terlebih dahulu agar bisa membaur di lingkungan Jepang yang notabene tidak Islami. Jika pondasi telah kuat, yakin saja anak tak akan tergoda. Pastinya harus disesuaikan dengan umur juga. Apabila usianya masih kecil di bawah 10 tahun misalnya, tak perlu juga dipaksa. Biarkan ia belajar, menghayati kewajiban-kewajiban sebagai muslim tanpa adanya paksaan. Seiring usianya bertambah, atas izin Allah, anak akan bisa menjalankan kewajibannya sebagai muslim.

Meskipun sangat sedikit spiritualitas dalam kehidupan orang Jepang, bukanlah menjadi hal yang sulit untuk kita menanamkan aspek spiritual Islam. Di mana pun kita berada, tantangan keislaman pastilah ada. Setiap muslim pasti menghadapi tantangan sesuai porsi yang telah ditakar Allah dan sesuai kesanggupan hamba-Nya.

Memohonlah selalu kepada Allah agar dibukakan pintu solusi. Saat sedang susah ada yang menolong. Saat sedang perlu ada yang membantu. Saat sedang bingung ada yang menunjukkan jalan. Saat sedang goyah iman ada yang menguatkan. Bersyukurlah, bertasbihlah kepada Allah agar pintu solusi tersebut hadir. Bisa jadi, aneka kebaikan yang pernah kita lakukan, menjadi wasilah terbukanya pintu solusi ketika kita sangat memerlukannya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Boleh jadi, saat kau tertidur lelap; pintu-pintu langit tengah diketuk oleh puluhan doa dari orang miskin yang telah kau tolong, dari orang lapar yang telah kau beri makan, dari yang bersedih dan telah kau hibur, dari orang yang berjumpa denganmu dan kau berikan senyuman, dari orang yang galau dan berbagi denganmu. Karena itu, jangan pernah meremehkan amal kebaikan sekecil apapun.”

Pintu solusi jelas terbuka saat kita melakukan amal kebaikan. Termasuk solusi agar kita kuat dalam menghadapi tantangan mengasuh anak di lingkungan yang tidak Islami.

Standard
japanalivestory

Sulitnya Menjadi Muslim di Jepang, Bukan Berarti Tidak Bisa

Menjadi minoritas adalah tantangan. Aktivitas yang dijalani berbeda dengan orang kebanyakan. Misalnya saja sebagai pemeluk agama Islam yang tinggal di negara yang mayoritas bukan muslim, tentu ada perjuangannya bukan? Kita menjalankan salat, orang di sekitar kita tidak salat. Kita sedang puasa, orang di sekitar kita sedang makan. Jika demikian jauh perbedaan di lingkungan sekitar, haruskah kita menyerah? Tentu tidak.

Ambil contoh negara Jepang. Negara ini bukan negara mayoritas muslim. Jepang memiliki budaya dan tradisi sendiri sehingga bagi seorang muslim, cukup sulit untuk melaksanakan salat lima waktu dan puasa selama sebulan. Jumlah muslim dari etnis Jepang pun sangat sedikit, hanya sekitar sepersepuluh dari total populasi muslim di negara itu. Maka ketika ada komunitas muslim di Jepang, mereka akan lebih mudah menjalin rasa persahabatan meskipun baru pertama kali bertemu. Hal demikian bisa terjadi karena adanya sama rasa akan sulitnya menjalani kehidupan sebagai muslim di Jepang.

Kubo, salah satu mualaf Jepang yang tinggal di Tokyo menceritakan dulunya ia tumbuh dalam keluarga tanpa agama. Saat beribadah, keluarganya menyembah alam, seperti kebanyakan orang Jepang yang mempercayai Shinto. Sampai pada akhirnya ia mengenal Islam lewat pelajaran di sekolah. Dalam pelajaran sejarah, kurikulum Jepang memang mmperkenalkan semua kepercayaan di muka bumi. Ketika Islam dipelajari di kelas sejarah, hal tersebut sangat mengguncang jiwa Kubo.

Dalam wawancara di Aljazeera English Channel, Kubo menjelaskan jika ketertarikannya pada Islam berkembang saat dia membaca lebih banyak tentang sejarah Islam. Hal tersebut kian bertambah mana kala Kubo bertemu Muslim ekspatriat di Jepang. Sejak itu, dia mempertimbangkan untuk menjadi muslim. Ia kemudian bersiap pergi haji dan umroh ke Mekkah, untuk pertama kalinya. Baginya, pergi ke Mekah memiliki arti khusus. Dia merasa terhormat memiliki kesempatan untuk pergi ke Mekah.

Untuk menjalankan ibadah salat, Kubo harus menuju musala kecil di daerah Saitama. Karena muslim adalah minoritas di Jepang, tentu musala tak banyak bertebaran. Perjalanan menuju musala langganan Kubo, memakan waktu hingga dua jam. Musala tersebut dibangun oleh pekerja muslim asal Bangladesh. Kubo adalah satu-satunya etnis Jepang yang menjadi jemaah di musala tersebut.

Lain cerita dengan Abdullah Taki. Warga Jepang ini masuk Islam pada tahun 2006. Setahun setelahnya, ia menunaikan ibadah haji. Baginya, arti mengunjungi Kakbah bukan sekadar melihat bangunan tetapi mengunjungi rumah Allah, bertemu Tuhan. Ketika masih di dalam pesawat, tanpa sadar air matanya menetes kala mendengar pesawat telah mendekati kota Madinah. Ia merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Ia sangat tersentuh.

Bagi Kubo dan Abdullah Taki, menjadi mualaf haruslah total. Keduanya rela meninggalkan pekerjaan lamanya demi bisa menjalankan ritual ibadah umat Islam dengan baik. Karena menjadi muslim harus salat lima waktu, berpuasa ramadan, menunaikan ibadah salat Jumat, maka hal tersebut sulit dicapai jika masih terus berada di perusahaan Jepang. Keduanya kemudian memilih pekerjaan yang lebih fleksibel.

Menjadi muslim adalah perjuangan. Dunia diibaratkan penjara bagi umat muslim. Rasa hampir menyerah barangkali bisa saja muncul. Tapi ingatlah, Allah telah mempersiapkan ganjarannya di akhirat kelak. Menjadi muslim di Jepang memang sulit tapi bisa diusahakan. Meski sulit, bukan menjadi alasan untuk menyerah.

Dalam perjuangan menjadi muslim di negeri minoritas tentu memerlukan kesabaran. Seorang muslim dapat memanen sabar dari berpuasa. Dalam sebuah hadis disebutkan jika orang yang menjalani puasa berarti menjalani kesabaran. Kesabaran dalam hal apakah?

Sabar dalam tiga hal :
(1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah
(2) sabar dalam meninggalkan yang haram
(3) sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan

Puasa mengajarkan kita tiga hal di atas. Dalam puasa tentu saja didalamnya ada bentuk melakukan ketaatan. Dengan berpuasa, kita menjauhi hal-hal yang diharamkan. Begitu juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa semakin kita khusyuk berpuasa, Allah akan limpahkan kesabaran berjuang dalam diri setiap muslim.

Standard
japanalivestory

Terima Kasih Atas Empatimu, Kawan!

“Mama, aku main ya, udah janjian sama teman-teman tadi pas di sekolah. Mau ke Jangguru Koen, nanti keliling pindah taman sambil cari teman yang lain. Mampir juga ke Yamada Koen.”

Si sulung pulang sekolah memberondong izin untuk main ke taman bersama teman-teman Jepang.

“Jauh lho itu,” timpal saya.

“Enggak, Ma. Asyik malah, main aja sambil nunggu buka puasa. Aku salat dulu.”

Mamanya ditinggal mematung dalam rasa was-was. Anak ini sudah sejak pagi sekolah, pulang sore, masih mau lanjut bermain.

Sebenarnya pekan depan sudah libur nasional dalam rangka golden week, jadi tak perlu ribut mempersiapkan sekolah. Ya, tak mengapa jika si anak banyak bermain. Tetapi saat ini sedang masuk bulan Ramadan bagi umat muslim. Pikir saya, lebih baik istirahat saja tidur sore dari pada capek, haus, dan lapar. Apalagi matahari sedang lumayan terik di bulan Mei ini. Kawan-kawan Jepang tidak ada yang puasa, pastilah nanti si sulung melihat kawannya minum air segar di tengah ia menahan dahaga karena berpuasa.

Hampir tiga jam bermain, si sulung sudah kembali ke rumah. Bercerita lagi pada mamanya yang masih memasak untuk persiapan buka puasa.

“Ma, tadi aku main sama Sion. Aku naik sepedanya dia, dipinjamkan, katanya biar aku enggak capek. Dari Jangguru ke 7-Eleven ikutin dia jajan. Katanya, kamu tak beliin jus ya, haus kan?”

“Kok bisa temanmu bawa sepeda, emang boleh?”

“Katanya enggak apa-apa, aku juga pengin naik sepeda tapi takut ah kalau enggak sama orang tua.”

Di Jepang aturannya sebelum anak dapat “SIM sepeda”, tidak boleh bersepeda sendiri tanpa orang tua. “SIM sepeda” ini didapat sebelum kelas lima.

“Terus Mas, kamu lihat teman-temanmu makan jajan di 7-Eleven?”

“Iya, aku ditawari minum. Hahaha. Aku bilang aku masih kuat puasanya. Terus ya udah aku baca aja buku cerita yang gratisan itu lho, Ma.”

“Habis itu ke mana lagi?” Tanya saya terus menyerocos karena belum habis rasa was-was dalam diri.

“Ke Yamada Koen, tapi enggak ada yang main, ya udah cuci muka aja biar segar.”

Mamanya menyimak sambil buka google map, menghitung berapa kilometer jarak si sulung bermain keliling kampung.

“Mau diajak ke Mikasa Gawa cari serangga, kata Sion jangan nanti aku capek kan lagi puasa. Jadinya ke rumah Fumi main aja di sana. Terus mampir kouminkan buat istirahat. Tadi aku diantar Sion lho Ma, sampai perempatan situ.”

“Baik banget temanmu. Kamu pusing?” tanya mamanya masih khawatir.

“Enggak, Ma.”

Syukurlah Nak.

Saya belajar apa itu empati dari anak-anak Jepang. Meskipun mereka tidak merasakan puasa seperti apa yang si sulung rasakan, tapi sikap dan perhatiannya sungguh membuat hati saya tersentuh.

Jadi sebenarnya, orang yang sedang berpuasa itu harus dihormati atau menghormati?

Kalau semua minta dihormati tidak akan ada yang dapat kehormatan. Tapi kalau saling menghormati, semua akan dapat kehormatan.

Puasa artinya menahan hawa nafsu. Maka kita yang sedang berpuasa ini wajib menahan nafsu saat melihat makanan, bukan malah menyalahkan dan meminta orang lain untuk menyembunyikan makanan. Bukankah setiap orang memiliki kebutuhan berbeda? Dan kita sebagai muslim wajib menghormati dan menghargai kebutuhan orang lain, sekalipun mereka berbeda keyakinan dengan kita.

Standard
japanalivestory

“Ha, Islam? Apa Itu?”

Ada beragam pertanyaan dan rasa penasaran dari kawan-kawan Jepang anak sulung saya terhadap Islam, agama yang kami anut. Hal itu pasti dikarenakan kebiasaan kami yang berbeda dengan mereka dan sangat menonjol. Bagaimana tidak menonjol, jika hanya dia, anak sulung saya yang menjadi satu-satunya orang Islam di kelasnya. Praktis segala aktivitasnya, mulai dari beribadah salat Jumat dan puasa ramadan menyedot perhatian kawan-kawannya.

Sering juga anak sulung saya kewalahan menjawab. Ketika itu dia memberikan alasan tidak banyak bermain sebab sedang berpuasa. Lalu dia melanjutkan, “Kalau di kepercayaan agama Islam itu ya ada puasa.” Pernyataan ini, malah memicu pertanyaan lain dari kawannya. Mulanya menjawab satu pertanyaan, malah memunculkan pertanyaan lain. Rumit bukan?

“Ha, Islam? Apa itu?” tanya teman Jepang yang masih keheranan.

Ya, agama Islam ini masih asing di Jepang. Bisa dikatakan warga Jepang pun cuek dengan kehadiran Islam. Masjid di Jepang meskipun ada, namun secara fisik tidak mengundang perhatian rakyat Jepang. Hanya orang Jepang tertentu saja, biasanya yang pernah berhubungan dengan orang asing yang paham tentang masjid dan Islam.

Bangunan masjid hampir mirip dengan apato (apartemen) Jepang. Suara azan juga tak dikumandangkan keras hingga keluar masjid. Kebijakan ini dilakukan setiap masjid di Jepang dalam rangka agar bisa hidup berdampingan dengan warga Jepang secara baik. Jepang menyukai ketenangan, maka kebijakan tidak mengeluarkan suara azan hingga ke luar masjid ini yang dipilih. Maka tak heran jika kehadiran Islam masih asing bagi mereka.

Kepercayaan (agama) Islam, dalam bahasa Jepang disebut dengan Isuramu kyo. Kyo artinya kepercayaan, sedangkan Isuramu itu Islam. Ketika dijawab dengan menyebut kata kyo, kawan-kawan Jepang akan lebih mudah memahami. Bagi mereka kata kyo sepadan dengan kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jepang pada umumnya.

Pikiran saya terkadang menerawang, bahwa saya punya andil untuk memperkenalkan Islam kepada orang Jepang. Bukankah sebagai umat muslim, tugas kita juga turut mengenalkan agama Allah ini kepada nonmuslim? Menjadi seorang muslim ibarat menjadi duta atau perwakilan Islam. Seringkali kita abai akan tugas kita sebagai duta islam. Kita memilih menjadi muslim yang biasa saja. Padahal orang di luar Islam melihat Islam ya dari diri kita ini. Sudahkah kita menjadi duta Islam di lingkungan kita masing-masing?

Mengenalkan Islam di Jepang, meliputi segala aspek keimanan yang saya jalankan bersama keluarga. Segala perilaku dan kebiasaan tentunya diperhatikan oleh sensei dan beberapa orang Jepang yang kami kenal. Dimulai dari memilih makanan halal. Kami membuktikannya dengan membawa bekal sendiri untuk makan siang di sekolah. Lalu saat ramadan tiba, kami menjelaskan kepada sekolah bahwa ada kewajiban ibadah yang dinamakan puasa.

Puasa atau danjiki dalam bahasa Jepang, telah lama ada sepanjang sejarah umat manusia. Di kepercayaan agama lain, Budha yang dianut orang Jepang misalnya, telah ada istilah danjiki. Bagi mereka, puasa dilakukan ketika ada kerabat yang meninggal dunia. Mereka tidak mengkonsumsi daging pada hari itu.

Danjiki untuk kepercayaan agama Islam, dimaknai pula sebagai aktivitas tidak makan oleh orang Jepang, dari pagi hingga petang. Adalah penjelasan yang hingga keberadaan kami di tahun keempat menjadi semakin biasa. Sensei sudah hafal dengan kebiasaan kami dan mudah dalam menjelaskannya kepada murid lain. Ya namanya anak-anak pasti punya rasa ingin tahu yang tinggi, mengapa tidak ikut makan padahal sudah jam makan siang.

Kini semakin modern ilmu pengetahuan, salah satu ibadah umat muslim, yaitu puasa turut serta dalam penelitian yang berkembang. Seperti anak-anak Jepang yang sangat ingin tahu apa itu puasa, maka ilmuwan nonmuslim pun turut serta mencari tahu mengapa harus berpuasa.

Puasa bagi orang muslim bertujuan untuk memperbaiki dan menyehatkan tubuh. Disebut sehat karena dengan berpuasa, artinya seseorang telah mengurangi asupan makanan dan mempertahankan gaya hidup yang lebih sehat. Terlebih, memanjakan tubuh dengan makanan secara berlebihan juga tak baik bukan? Dalam ilmu kesehatan, juga disebutkan bahwa tidak dianjurkan untuk makan berlebihan. Makanlah secukupnya untuk menghilangkan rasa lapar.

Penelitian di dunia ini yang dilakukan oleh nonmuslim telah banyak membuktikan bahwa puasa membawa banyak manfaat terhadap kesehatan. Puasa membuat tubuh lebih kuat, lebih ramping, dan lebih bersih tentunya.

Standard
japanalivestory

Puasa Itu Menyehatkan, Benarkah Demikian?

Umat Islam selalu berpuasa satu bulan penuh dalam setahun selama lebih dari 12 jam tanpa asupan makanan. Ahli kesehatan meneliti bahwa puasa dapat mengaktifkan autophagy. Sebuah proses untuk memperbarui sel-sel yang rusak. Bisa dikatakan, puasa dapat membantu memperlambat proses penuaan.

Kata autophagy berasal dari Yunani. Auto yang berarti “diri”, dan phagein, yang berarti “makan”. Dengan demikian, autophagy menunjukkan “makan sendiri”. Sel dalam tubuh manusia dapat memakan sendiri (menggantikan) sel yang telah rusak.

Dengan merangsang autophagy lewat puasa, ibarat kita sedang membersihkan rumah. Kita harus menyingkirkan barang-barang lama sebelum dapat memasukkan barang-barang baru ke dalam rumah bukan? Jika kita memiliki lemari tua yang jelek, maka kita perlu membuangnya terlebih dahulu sebelum memasukkan lemari baru yang lebih kekinian. Apabila kita tetap memaksa memasukkan lemari baru tanpa mengeluarkan yang lama, artinya rumah kita jadi tidak indah. Itulah autophagy. Tubuh sedang dalam proses membersihkan diri dan merangsang hormon pertumbuhan. Seperti rumah, tubuh juga perlu renovasi total.

Konsep autophagy dikenalkan oleh ahli biologi sel asal Jepang, Yoshinori Ohsumi, yang memenangkan nobel dalam bidang fisiologi (kedokteran) di tahun 2016. Mulanya, pria yang lahir di Fukuoka ini melakukan serangkaian eksperimen brilian di awal 1990-an. Yoshinori Ohsumi menggunakan ragi roti untuk mengidentifikasi organisme yang berkembang dalam ragi roti. Dia kemudian menjelaskan mekanisme yang mendasari autophagy dalam ragi lalu menunjukkan bahwa mesin canggih serupa ada dalam sel tubuh manusia.

Yoshinori Ohsumi, menyebut dirinya “hanya peneliti dasar dalam ragi,” tetapi penemuannya membuka jalan untuk memahami pentingnya autophagy dalam banyak proses fisiologis. Konsep autophagy dapat digunakan untuk mempelajari kondisi tubuh saat beradaptasi dengan rasa lapar, adanya infeksi, ataupun adanya sel ganas (kanker).

Seiring berjalannya hidup manusia, sel-sel dalam tubuh mengumpulkan berbagai sel yang telah tua, sel dan protein rusak yang menghalangi kerja bagian dalam tubuh. Tubuh kita memiliki cara unik untuk membersihkan bagian-bagian yang rusak tersebut dan mempertahankan diri dari penyakit. Inilah proses yang disebut autophagy.

Lalu bagaimana caranya agar tubuh manusia bisa mengaktifkan autophagy?

Perusahaan farmasi mencoba membuat ramuan untuk merangsang autophagy. Tak hanya itu, bidang farmasi juga mengklaim bahwa suplemen atau diet tertentu dapat merangsang autophagy. Tetapi sebenarnya, hanya ada satu cara yang terbukti ampuh untuk memicunya, yaitu melalui puasa.

Autophagy dalam diri manusia dapat muncul apabila tubuh kekurangan nutrisi. Autophagy adalah respons terhadap stres. Ketika nutrisi langka, sel masuk ke mode pengawetan, di mana mereka lebih tahan terhadap stres atau penyakit. Dalam prosesnya, tubuh mengidentifikasi sel lama yang sudah tidak dibutuhkan dan menandainya sebagai sel yang harus dibuang.

Dengan merangsang autophagy, tubuh tidak hanya mulai membersihkan sel lama yang rusak, tetapi juga merangsang hormon pertumbuhan agar terbentuk sel-sel baru. Jadi, puasa (mengurangi nutrisi makanan) adalah cara terbaik untuk menyingkirkan sel lama dan menggantinya dengan yang baru.

Standard
japanalivestory

“Kamu Puasa Lama Sekali, Apa tidak Mati?”

Di saat ramadan di Jepang, ada hal yang saya nantikan selain berbuka puasa. Adalah oleh-oleh cerita dari sekolah anak-anak yang membuat saya kepo. Saya ingin tahu sekali tentang apa saja tanggapan kawan-kawan anak saya ketika dirinya berpuasa. Dia tidak membawa minum, juga tidak membawa bekal makan siang. Sementara teman-teman Jepangnya, setiap jam makan siang asyik mengudap aneka makanan dari sekolah yang saya yakin baunya sangat menggoda anak saya yang sedang berpuasa.

Malam itu, anak sulung saya mengoceh panjang seperti burung yang riang menyambut musim semi. Cerita yang ia lontarkan tak berhenti. Selain karena ia sudah kenyang berbuka, pastinya ada hal yang perlu disampaikan kepada mamanya terkait pengalamannya di sekolah. Ada salah satu kalimat yang mengejutkan saya.

“Mama, tadi temanku bilang gini. Kamu puasa lama sekali apa tidak mati?”

Sebenarnya, apa yang terjadi pada tubuh kita saat berpuasa? Secara alami, tubuh kita sesungguhnya sudah terbiasa berpuasa. Setelah delapan jam kita makan, saat itulah perut kita kosong dan bisa dikatakan kita sedang berpuasa. Tubuh kita memasuki waktu puasa setelah usus selesai menyerap nutrisi dari makanan.

Dalam keadaan normal, glukosa yang disimpan di hati dan otot adalah sumber energi utama tubuh. Selama puasa itu pula, simpanan glukosa dalam tubuh digunakan untuk energi kita. Ketika glukosa telah habis, maka lemak yang menjadi sumber energi berikutnya ketika perut kita sedang kosong. Setelah lemak habis, maka energi selanjutnya yang digunakan oleh tubuh adalah protein.

Orang yang berpuasa ramadan tidak akan sampai ke tahap memecah protein, sebab kita berbuka puasa setiap hari sebelum datangnya malam. Menurut publikasi “Ramadan Health Guide” dari Communities in Action, orang yang berpuasa ramadan tidak akan sampai ke tahap kelaparan. Arti kelaparan adalah saat energi yang digunakan tubuh berasal dari protein disebabkan cadangan glukosa dan lemak telah habis. Kecuali memang orang tersebut puasa berhari-hari hingga tubuh lemas dan kurus. Itulah yang disebut dengan kelaparan dan kondisi yang tidak sehat.

Dalam berpuasa, Allah tetap memberikan kita waktu untuk makan, maka tidak mungkin orang yang berpuasa ramadan akan mati. Puasa ramadan hanya berlangsung dari fajar hingga senja. Ada banyak kesempatan untuk mengisi kembali energi tubuh sebelum terbitnya fajar.

Ketika berpuasa, tubuh menggunakan lemak sebagai energi. Hal ini dapat membantu penurunan berat badan, menjaga otot, serta dalam jangka waktu panjang dapat mengurangi kadar kolesterol. Lebih dari itu, adanya penurunan berat badan dapat pula mengontrol diabetes. Ketika lemak dari tubuh dikeluarkan, yang terjadi pada tubuh adalah proses detoksifikasi, yaitu mengeluarkan setiap racun yang tersimpan dalam lemak.

Sungguh ada keajaiban dalam berpuasa bukan? Jadi, anggapan teman dari anak sulung saya yang notabene anak Jepang nonmuslim tersebut salah. Puasa tidak menyebabkan kematian, justru puasa berguna bagi kesehatan.

Standard
japanalivestory

Masjid Kobe, Simbol Islam di Jepang

Masjid pertama yang dibangun di Jepang adalah Masjid Kobe. Didirikan pada tahun 1935 oleh penduduk Turki dan India di negara tersebut. Berbicara tentang sejarah Islam di Jepang, maka Masjid Kobe lah yang menjadi tonggak awal mulanya.
Untuk membangun masjid ini, ada banyak kesulitan yang dialami oleh umat Islam di Jepang saat itu. Bermula di tahun 1928 ketika pedagang India mengumpulkan dana untuk membangun masjid. Hal itu dilakukan sebab adanya peningkatan populasi Muslim di Kobe setelah perang dunia pertama. Kobe yang notabene berada di kawasan pinggir laut, menjadi lokasi strategis pedagang di zaman itu.

Dana pembangunan Masjid Kobe diambil dari kantong pribadi salah satu saudagar India. Kemudian ditambah dengan uang dari pegadang muslim lain yang berjuang menghemat biaya hidup selama di Jepang demi menyisihkan uang untuk dana pembangunan masjid. Disusul sumbangan dari pedagang Suriah dan banyak lagi pedagang lainnya.

Upacara peletakan batu pertama Masjid Kobe diselenggarakan pada bulan November 1934. Dihadiri oleh banyak orang termasuk kementerian Afghanistan di Jepang, pejabat konsuler Mesir di Kobe, pejabat wakil konsul Inggris di Kobe, dan seorang sarjana Jepang di Turki. Pada tahun 1935, izin pendirian masjid diberikan dan ketua panitia masjid menyatakan adanya pembukaan masjid Islam pertama di negeri matahari terbit. Pendirian Masjid Kobe menjadi bukti adanya toleransi masyarakat Jepang terhadap Islam.

Ada kebesaran Allah yang menyertai dalam proses pendirian Masjid Kobe. Jalannya tak selalu mulus. Tahun 1943 terdapat peristiwa besar. Sempat ada tragedi penyitaan oleh angkatan laut Kekaisaran Jepang, namun hal tersebut gagal dieksekusi. Yang lebih mencengangkan, saat bom pada perang dunia kedua menghantam berbagai wilayah Jepang, Masjid Kobe menjadi satu-satunya bangunan yang selamat. Sementara bangunan lain di wilayah Kobe hancur lebur.

Cobaan untuk Masjid Kobe belum berhenti. Tahun 1995 gempa Hanshin menerjang wilayah Kobe. Atas kuasa Allah, masjid tersebut tidak mengalami kerusakan yang berarti akibat gempa. Justru, Masjid Kobe menjadi tempat evakuasi untuk menampung pengungsi Jepang dari bencana.

Masjid Kobe menjadi simbol pertama kehadiran Islam di Jepang. Kini dari tahun ke tahun peminat Islam di Jepang semakin meningkat. Keberadaan masjid tidak hanya dibuka untuk umat Islam tetapi untuk semua orang yang ingin tahu tentang Islam. Imam masjid tak lelah memberikan diskusi secara berkala untuk menyebarkan pengetahuan tentang Islam. Dampaknya, hubungan antara muslim dan masyarakat Jepang semakin terjalin dengan baik. Masyarakat Jepang yang ingin tahu tentang Islam pun memiliki fasilitas untuk memuaskan rasa ingin tahunya.

Menurut penelitian Mr. Hirofumi Tanada, hanya ada tiga masjid di Jepang pada akhir 1980-an. Seiring berjalannya waktu, di awal tahun 1990-an, banyak orang dari negara-negara mayoritas muslim (Iran, Pakistan, Bangladesh) datang ke Jepang sebagai buruh. Selanjutnya peserta magang dan pekerja dari Indonesia, hingga tahun 2000-an datang dan semakin membawa dampak meningkatnya jumlah masjid di Jepang. Pada 2014 semakin bertambah menjadi 80 masjid dan melonjak menjadi 105 masjid pada akhir 2018. Masjid yang dibangun telah tersebar di seluruh kepulauan Jepang, mulai dari prefektur (propinsi) Okinawa hingga prefektur Hokkaido.

Kawasan wilayah industri seperti Prefektur Aichi menjadi tempat pesatnya pertumbuhan masjid. Kini bertambah untuk kawasan universitas, di mana terjadi peningkatan jumlah pelajar muslim yang ingin menuntut ilmu di negeri sakura. Tak hanya itu, jumlah warga Jepang yang menjadi mualaf karena menikah dengan pasangan muslim pun turut menambah semakin pesatnya perkembangan masjid di Jepang.

Standard
japanalivestory

Laksana Penghangat di Badai Salju

Seorang profesor Asian and Egyptian Studies dari Waseda University melakukan investigasi pada akhir 2018. Mr. Hirofumi Tanada menemukan ada 105 masjid di 36 propinsi di Jepang. Sebagai informasi, jumlah propinsi di Jepang sebanyak 45, artinya hampir di setiap propinsi terdapat masjid. Bahkan untuk propinsi besar, seperti Osaka misalnya, jumlah masjid bisa sampai dua lokasi.

Penambahan jumlah masjid di Jepang yang meningkat secara signifikan dikarenakan masuknya mahasiswa dan pekerja dari negara-negara Islam. Mereka bersemangat mendirikan masjid di hampir tiap propinsi, terutama di wilayah yang berdekatan dengan universitas. Tak dapat dimungkiri, masjid adalah penghibur kala seorang perantau harus berjauhan dengan keluarga di negara asal. Terlebih bagi umat beriman, masjid ibarat tempat bernaung. Keberadaan masjid di Jepang laksana penghangat di badai salju yang beku.

Semakin banyaknya masjid dibangun di Jepang, bukan berarti prosesnya mudah begitu saja. Ada tantangan tersendiri, bagaimana masjid tersebut dapat berhasil hidup berdampingan dengan masyarakat Jepang.

Masjid terbesar di Jepang, Tokyo Camii yang berlokasi di Shibuya Ward, bisa mencapai jumlah jamaah 700 hingga 800 orang untuk salat Jumat. Para jamaah berasal dari pendatang Asia Tenggara, Arab, dan negara-negara Afrika. Akibat membludaknya jamaah, sebagian tidak dapat memasuki gedung masjid yang penuh sesak itu, melainkan menggelar sajadah di halaman depannya. Selama salat Jumat dan hari-hari lain ketika acara besar berlangsung, jalan menuju masjid sering dipenuhi orang pada waktu masuk dan keluar, dan banyak mobil yang diparkir di jalan-jalan terdekat. Akibatnya kemacetan lalu lintas pun terjadi. Warga Jepang yang tinggal di sekitar Tokyo Camii Mosque mengeluhkan hal tersebut.

Berdasarkan laporan dari halaman fooddiversity (portal panduan halal food di Jepang), seorang wanita Jepang yang mengendarai sepedanya di wilayah Tokyo Camii, mengatakan jika ia membenci Islam. Tak lain dan tak bukan disebabkan perilaku muslim yang mengganggu lingkungan sekitar tersebut. Untuk mengatasi masalah keluhan masyarakat Jepang ini, imam masjid terkadang mengundang warga Jepang di sekitar masjid untuk hadir ke acara kuliner yang diselenggarakan oleh Tokyo Camii. Semua ini dilakukan dalam rangka mendekat pada warga Jepang agar muslim dapat hidup berdampingan.

Masjid Kanazawa, sebuah masjid di Kanazawa, Prefektur Ishikawa, Jepang tengah, malah justru mendapat keluhan dari warga Jepang sebelum didirikan. Agak berbeda, keluhan di Kanazawa disebabkan karena image muslim sebagai teroris, terutama dikaitkan dengan Al-Qaeda, jaringan jihad militan yang beritanya mendunia. Warga mengeluhkan jika nantinya akan ada masalah dan khawatir jika harga properti di sekitar akan anjlok. Setelah setengah tahun pembicaraan, warga Jepang di sekitar akhirnya menyetujui dengan syarat membuat sebuah dokumen perjanjian. Warga meminta pengelola masjid untuk mencegah kebisingan seminimal mungkin. Tak hanya itu, warga juga meminta agar bangunan eksterior masjid dibuat dengan tampilan hunian standar Jepang supaya tidak mencolok sebagai identitas Islam. Pihak masjid pun menyetujui permintaan tersebut.

Pada Agustus 2014, Masjid Kanazawa selesai dibangun. Komunitas muslim turut serta bergaul dan hidup berdampingan dengan warga sekitar. Hal itu dilakukan dengan upaya membersihkan daerah setempat dan menyekop salju saat musim dingin datang. Singkat cerita, Masjid Kanazawa berhasil menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jepang di sekitar masjid.

Kejadian yang hampir mirip dengan insiden di Masjid Fukuoka pada tulisan sebelumnya. Untuk dapat diterima oleh masyarakat Jepang, muslim harus memiliki adab yang baik, sebisa mungkin sama dengan sifat baik orang Jepang. Ada sebuah sindiran yang beredar dan bisa kita jadikan sebagai renungan.

“Orang nonmuslim tidak membaca Alquran, mereka tidak membaca hadis. Yang mereka baca adalah dirimu, maka jadilah cerminan Islam yang baik.” (Terjemahan nasihat Khabib Nurmagomedov, seorang atlet bela diri muslim asal Rusia).

Standard
japanalivestory

Berdampingan dengan Kehidupan Masyarakat Jepang

Keberadaan masjid di negeri minoritas muslim menjadi cahaya penerang khususnya bagi umat muslim. Senyum mengembang kala dapat tinggal di Jepang dengan propinsi yang telah berdiri sebuah masjid. Ada rasa syukur yang lebih ketika muslim dapat diizinkan beribadah tanpa diganggu.

Mungkin kita selama ini lupa. Ada satu kenikmatan saat beribadah, yaitu kebebasan. Tanpa diteror, tanpa diancam, tanpa diinterogasi. Buka mata, berapa banyak saudara muslim di belahan bumi lain yang akan beribadah saja harus dijaga ketat dengan senjata. Memiliki keimanan saja harus diinterogasi. Sedangkan kita? Bebas. Masyaallah.

Beribadah tanpa diteror adalah sebuah kenikmatan besar tinggal di Jepang. Saya merasakan ada sikap toleransi yang diberikan orang Jepang kepada umat beragama. Bukankah agar kita dapat hidup rukun dan damai, maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah memberikan perhatian pada pihak lain?

Mahasiwa muslim dapat dengan bebas salat jumat. Anak-anak dapat menjalankan puasa di sekolah. Jika hari raya pun dapat izin untuk melaksanakan salat Ied di pagi hari. Di wilayah kampus, dibuatkan juga musala kecil. Sebenarnya hanya ruangan dengan diberi alas peninggi yang dikhususkan untuk salat. Awal mula musala kecil ini dibuat disebabkan mahasiswa yang terbiasa salat di tempat kecil pojok ruangan. Bukan ruangan yang dikhususkan untuk salat, tetapi ruang kerja yang merangkap sebagai tempat salat. Melihat hal ini, pihak kampus kemudian dengan rasa toleransinya yang tinggi, membuatkan ruang khusus untuk salat tadi. Ruangan yang dilengkapi jam azan juga petunjuk arah kiblat.

Sebagai timbal balik, muslim yang memiliki adab baik tentu harus tahu aturan. Jepang adalah tipe masyarakat yang menyukai kesunyian dan kerapihan. Sebisa mungkin perilaku kita pun harus mengikuti adab kebiasaan masyarakat setempat. Seperti peribahasa yang selama ini telah beredar bahwa di mana bumi dipijak maka di situ pula langit dijunjung. Hendaklah kita mengikuti aturan dan adat yang diamalkan pada tempat di mana kita berada.

Aturan parkir kendaraan misalnya. Orang Jepang sangat ketat dalam urusan parkir mobil. Tidak diperkenankan orang yang memiliki kendaraan memarkirkan mobilnya sembarangan. Orang Jepang memiliki sifat tak mau mengganggu sesama. Pernah suatu ketika saat tiba waktu salat, terdapat jamaah yang tergesa-gesa takut terlambat salat, kemudian ia memarkirkan kendaraannya sembarangan. Tempat parkir di Jepang sudah ada tanda kepemilikan maka kita harus jeli mencari tempat mana saja yang masih dapat kita sewa. Adanya sikap ceroboh jamaah, imam masjid sampai harus didatangi oleh orang Jepang dan mengatakan tentang kesalahan fatal tersebut. Sang imam dengan keras kemudian mengingatkan kepada jamaah agar jangan sampai keberadaan kaum muslim mengganggu orang Jepang. Ingatlah bahwa kita menumpang di negeri orang. Sebaiknya muslim harus dapat berdampingan dengan kehidupan masyarakat Jepang.

Lokasi Masjid Fukuoka berdampingan dengan pet cemetery, tempat kremasi binatang, khususnya anjing dan kucing. Watak orang Jepang adalah penyayang binatang terlebih pada dua binatang tersebut. Merawat anjing diibaratkan seperti memiliki anak manusia, maka tak mengherankan jika anjing di Jepang diperlakukan mirip dengan bayi. Diberi pakaian, dinaikkan stroller, diajak jalan-jalan, diantar dengan mobil, dan seterusnya. Jika sang anjing mati, maka si empunya akan melakukan kremasi layaknya manusia yang meninggal. Mayat binatang juga dilakukan pembakaran sehingga menjadi abu, persis seperti orang Jepang yang meninggal. Rasa sayang pada binatang ini tentu harus dihargai meskipun muslim tidak melakukan hal seperti orang Jepang. Muslim memiliki prinsip yang berbeda dengan orang Jepang, namun bukan berarti kita lalu menghinanya.

Pernah ada satu kejadian, salah satu mobil jamaah menabrak tembok tempat kremasi anjing di depan masjid. Terjadilah permasalahan hingga akhirnya Masjid Fukuoka harus dijaga ketat oleh polisi saat ada kegiatan salat berjamaah. Keberadaan polisi tak lain adalah untuk menjaga ketertiban jamaah agar tak mengganggu pet cemetery tersebut. Terkadang juga dikarenakan rasa kangen lama tak berjumpa dengan saudara sesama muslim lalu jamaah mengeluarkan suara keras, berkumpul di depan masjid dengan suara yang ramai. Sikap ini tentu sangat mengganggu bagi orang Jepang. Pertama lingkungan menjadi bising. Kedua, pet cemetery tersebut butuh kesunyian. Namanya kremasi tentu ada upacara tertentu yang memerlukan keheningan.

Hingga saat ini polisi masih terus berjaga di sekitar masjid semata demi menjaga ketertiban tadi. Bukan dalam rangka melarang umat muslim beribadah, namun lebih kepada mencegah suara bising atau kejadian lain yang tidak diinginkan. Profil polisinya sangat ramah dan tak lelah mengatur kami umat muslim yang sering banyak khilafnya ini. Saya pribadi merasa trenyuh dan terharu akan kesabaran dan toleransi bapak polisi tersebut. Dalam menjalankan tugasnya yang melelahkan itu, beliau masih menyematkan senyuman setiap kami lewat usai melaksanakan salat hari raya atau hari jumat. “Terimakasihmas,” sapanya dengan peluh yang terlihat menetes. Akhiran “mas” ia tambahkan seperti ucapan “arigatou gozaimas”. Mendengarnya antara lucu dan terharu.

Kesalahan yang dilakukan pendatang muslim tak membuat Jepang melarang kami beribadah. Dari pemberitaan, jumlah masjid baru pun selalu bertambah. Kebanyakan masjid berasal dari bangunan rumah atau apartemen yang kemudian disulap menjadi tempat salat dan islamic community center. Meskipun ada juga masjid yang dibangun sejak awal berbentuk tempat ibadah (bukan rumah). Apa pun bentuknya, asalkan ada tempat yang diizinkan untuk beribadah, pastilah muslim bahagia. Berada jauh di perantauan dan menumpang di negeri orang yang pada akhirnya dapat menemukan masjid laksana penghangat di badai salju yang beku.

Standard