Menjadi minoritas adalah tantangan. Aktivitas yang dijalani berbeda dengan orang kebanyakan. Misalnya saja sebagai pemeluk agama Islam yang tinggal di negara yang mayoritas bukan muslim, tentu ada perjuangannya bukan? Kita menjalankan salat, orang di sekitar kita tidak salat. Kita sedang puasa, orang di sekitar kita sedang makan. Jika demikian jauh perbedaan di lingkungan sekitar, haruskah kita menyerah? Tentu tidak.
Ambil contoh negara Jepang. Negara ini bukan negara mayoritas muslim. Jepang memiliki budaya dan tradisi sendiri sehingga bagi seorang muslim, cukup sulit untuk melaksanakan salat lima waktu dan puasa selama sebulan. Jumlah muslim dari etnis Jepang pun sangat sedikit, hanya sekitar sepersepuluh dari total populasi muslim di negara itu. Maka ketika ada komunitas muslim di Jepang, mereka akan lebih mudah menjalin rasa persahabatan meskipun baru pertama kali bertemu. Hal demikian bisa terjadi karena adanya sama rasa akan sulitnya menjalani kehidupan sebagai muslim di Jepang.
Kubo, salah satu mualaf Jepang yang tinggal di Tokyo menceritakan dulunya ia tumbuh dalam keluarga tanpa agama. Saat beribadah, keluarganya menyembah alam, seperti kebanyakan orang Jepang yang mempercayai Shinto. Sampai pada akhirnya ia mengenal Islam lewat pelajaran di sekolah. Dalam pelajaran sejarah, kurikulum Jepang memang mmperkenalkan semua kepercayaan di muka bumi. Ketika Islam dipelajari di kelas sejarah, hal tersebut sangat mengguncang jiwa Kubo.
Dalam wawancara di Aljazeera English Channel, Kubo menjelaskan jika ketertarikannya pada Islam berkembang saat dia membaca lebih banyak tentang sejarah Islam. Hal tersebut kian bertambah mana kala Kubo bertemu Muslim ekspatriat di Jepang. Sejak itu, dia mempertimbangkan untuk menjadi muslim. Ia kemudian bersiap pergi haji dan umroh ke Mekkah, untuk pertama kalinya. Baginya, pergi ke Mekah memiliki arti khusus. Dia merasa terhormat memiliki kesempatan untuk pergi ke Mekah.
Untuk menjalankan ibadah salat, Kubo harus menuju musala kecil di daerah Saitama. Karena muslim adalah minoritas di Jepang, tentu musala tak banyak bertebaran. Perjalanan menuju musala langganan Kubo, memakan waktu hingga dua jam. Musala tersebut dibangun oleh pekerja muslim asal Bangladesh. Kubo adalah satu-satunya etnis Jepang yang menjadi jemaah di musala tersebut.
Lain cerita dengan Abdullah Taki. Warga Jepang ini masuk Islam pada tahun 2006. Setahun setelahnya, ia menunaikan ibadah haji. Baginya, arti mengunjungi Kakbah bukan sekadar melihat bangunan tetapi mengunjungi rumah Allah, bertemu Tuhan. Ketika masih di dalam pesawat, tanpa sadar air matanya menetes kala mendengar pesawat telah mendekati kota Madinah. Ia merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Ia sangat tersentuh.
Bagi Kubo dan Abdullah Taki, menjadi mualaf haruslah total. Keduanya rela meninggalkan pekerjaan lamanya demi bisa menjalankan ritual ibadah umat Islam dengan baik. Karena menjadi muslim harus salat lima waktu, berpuasa ramadan, menunaikan ibadah salat Jumat, maka hal tersebut sulit dicapai jika masih terus berada di perusahaan Jepang. Keduanya kemudian memilih pekerjaan yang lebih fleksibel.
Menjadi muslim adalah perjuangan. Dunia diibaratkan penjara bagi umat muslim. Rasa hampir menyerah barangkali bisa saja muncul. Tapi ingatlah, Allah telah mempersiapkan ganjarannya di akhirat kelak. Menjadi muslim di Jepang memang sulit tapi bisa diusahakan. Meski sulit, bukan menjadi alasan untuk menyerah.
Dalam perjuangan menjadi muslim di negeri minoritas tentu memerlukan kesabaran. Seorang muslim dapat memanen sabar dari berpuasa. Dalam sebuah hadis disebutkan jika orang yang menjalani puasa berarti menjalani kesabaran. Kesabaran dalam hal apakah?
Sabar dalam tiga hal :
(1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah
(2) sabar dalam meninggalkan yang haram
(3) sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan
Puasa mengajarkan kita tiga hal di atas. Dalam puasa tentu saja didalamnya ada bentuk melakukan ketaatan. Dengan berpuasa, kita menjauhi hal-hal yang diharamkan. Begitu juga dalam puasa seseorang berusaha bersabar dari hal-hal yang menyakitkan seperti menahan diri dari rasa lapar, dahaga, dan lemahnya badan. Itulah mengapa semakin kita khusyuk berpuasa, Allah akan limpahkan kesabaran berjuang dalam diri setiap muslim.