Tahun 2019 menjadi ramadan tahun pertama yang saya jalani di negeri minoritas muslim. Negeri yang terkenal sebagai julukan negeri matahari terbit. Belum pernah terbayang dalam benak saya bagaimana beribadah sebagai seorang muslim yang menjadi warga minoritas. Sebelumnya, Islam agama yang saya anut menjadi pemeluk terbesar di Indonesia. Saya merasa aman karena banyak teman. Sekarang di Jepang, saya sebagai muslim harus lebih mawas diri karena “sendiri”. Sendiri dalam tanda kutip karena memang tidak banyak orang muslim di sekitar saya.
Lingkungan di sekitar saya semuanya orang Jepang. Di apato (sebutan apartemen untuk di Jepang) yang saya tinggali, bertetangga dengan orang Jepang nonmuslim. Tidak seperti dahulu di Indonesia. Sebelah kanan, kiri, depan dan belakang rumah adalah pemeluk Islam. Menuju masjid pun tinggal ke gang belakang. Berkebalikan di Jepang, jarak apato dengan masjid kurang lebih delapan kilometer ditempuh dengan kereta.
Masjid di propinsi Fukuoka yang saya tinggali hanya ada satu. Terletak di wilayah yang bernama Hakozaki. Saya sadar diri bahwa untuk bisa hidup sebagai seorang muslim, maka saya harus menemukan keberadaan sebuah masjid. Bukankah jika merunut pada sejarah, masjid di zaman Nabi dibangun tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai pusat peradaban?
Bila mengacu pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, masjid menjadi pusat aktivitas umat Islam. Ketika itu Rasulullah saw membina para sahabat yang nantinya menjadi kader tangguh dan terbaik umat Islam generasi awal untuk memimpin, memelihara, dan mewarisi ajaran-ajaran agama dan peradaban Islam yang bermula dari masjid (Ahmad Putra dan Prasetio Rumondor dalam Jurnal UIN Mataram). Di zaman itu, masjid dipergunakan sebagai tempat musyawarah menyelesaikan persoalan umat dan pusat pendidikan. Maka, lewat masjid itu pula, saya yakin menemukan komunitas muslim. Siapa lagi yang bisa menjaga keimanan jika bukan diri sendiri dan bergabung dengan orang yang sekufu.
Saya teringat sebuah lagu gubahan yang berjudul Tombo Ati. Lagu tersebut menggambarkan dengan jelas lima nasihat untuk seorang muslim. Salah satu nasihatnya, bahwa kita diwajibkan berkumpul dengan orang saleh. Penyanyi Opick sukses membawakan lagu yang asalnya dari tembang Jawa ciptaan Sunan Bonang. Lima abad telah berlalu, tembang ini masih menempati posisi favorit, dan telah banyak diadaptasi di era masa kini. Tentu dengan terjemahan Bahasa Indonesia. Untuk memperjelas, berikut cuplikan Tombo Ati beserta artinya.
Tombo ati iku limo perkarane
(Obat hati itu ada lima perkara)
Kaping pisan moco Quran lan maknane
(Pertama, mengaji AlQuran berikut maknanya)
Kaping pindo sholat wengi lakonono
(Kedua, mendirikan salat malam)
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
(Ketiga, berkumpul dengan orang saleh)
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
(Keempat, memperbanyak berpuasa)
Kaping limo zikir wengi lingkang suwe
(Kelima, memperbanyak zikir malam)
Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
(Siapa yang bisa menjalani satu di antaranya)
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
(Semoga Allah mencukupi)
Nasihat ketiga sangat pas ditujukan kepada siapa pun yang sedang berada di negeri minoritas muslim. Setiap diri kita perlu mencari pendukung agar bisa menjalani peran sebagai muslim di negeri minoritas. Komunitas muslim menjadi salah satu pendukungnya. Sejatinya, “Manusia itu laksana sekawanan burung, memiliki naluri untuk berkumpul. Berkawan dengan orang saleh membawa dampak yang baik, karena kawan itu akan saling memengaruhi.”
Bulan Mei 2019, awal mula ramadan di Fukuoka, saya merasa yakin dapat menemukan komunitas muslim yang telah lama saya incar. Dengan berada di masjid, pastilah saya menemukannya. Bertepatan dengan acara buka bersama yang selalu diadakan oleh masjid, saya menghadirinya. Dari acara tersebut, saya berkenalan dengan seorang ibu asal Indonesia yang pandai membuat aneka roti halal. Ada juga perempuan muslim asal Kazakhstan yang sedang belajar bahasa Jepang. Bagian paling menyentuh, saat saya mengetahui ada pasangan Japanese di Fukuoka yang menjadi mualaf.
Tak hanya berbincang, saya pun turut memperhatikan setiap bagian pada bangunan Masjid Fukuoka. Bangunan di lantai pertama digunakan untuk jamaah pria. Sedangkan jamaah wanita, berada di lantai dua. Lantai tiga terdapat ruang kelas seperti aula dan dapur kecil untuk jamaah wanita. Sementara di lantai basement terdapat perpustakaan, aula serbaguna dan dapur besar lengkap dengan peralatan memasak untuk jamaah pria.

Saya terkesima dengan ruang kelas yang ada. Ruang kelas di Masjid Fukuoka lebih banyak dipergunakan untuk nonmuslim. Nonmuslim dapat memasuki masjid untuk menonton salat, atau bahkan berdiskusi tentang Islam jika mereka tertarik. Ternyata banyak juga orang Jepang yang tertarik dengan Islam, maka masjid lah yang bertugas melayani orang-orang tersebut.
Tujuan utama Masjid Fukuoka adalah untuk melayani kepentingan masyarakat muslim area Kyushu. Masjid mengatur dan mengadakan salat berjamaah dan kegiatan keagamaan. Selain itu, masjid juga membuat informasi tentang Islam yang mudah dipahami bagi orang Jepang. Banyak kegiatan masjid yang dapat diikuti oleh muslim dan nonmuslim, seperti kelas memasak makanan halal, seminar dan sesi dialog sesekali.
Tak hanya itu, Masjid Fukuoka juga menggelar pernikahan untuk muslim, juga membantu orang-orang Jepang menjadi mualaf dan mengucapkan syahadat. Untuk pengurusan jenazah muslim pun, masjid ini juga menyediakan sarana tersebut.
Di akhir pekan, masjid menawarkan pelajaran bahasa Arab, belajar membaca Alquran, dan menghapal surat pendek untuk anak-anak. Masjid Fukuoka juga melayani penerbitan sertifikasi halal pada makanan. Beberapa kedai khas Jepang yang berada di Fukuoka, sebagian telah memperoleh sertifikat halal dari Masjid Fukuoka. Pantaslah masjid menjadi pusat pendidikan seperti yang telah Rasul ajarkan. Perannya tak hanya sebagai sarana ibadah, tetapi juga edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat.
Masjid Fukuoka memiliki nama lengkap Al Nour Islamic Center. Adalah masjid pertama di pulau Kyushu yang selesai dibangun tahun 2009, lebih tepatnya resmi dibuka pada 12 April.

Awal mulanya, himpunan mahasiswa Kyushu University Muslim Student Association (KUMSA) memprakarsai ide pembangunan masjid pada tahun 1998. Di tahun itu KUMSA bergerak mengumpulkan sumbangan dana dari Jepang dan luar Jepang. Pada tahun 2006, tanah berhasil dibeli. Setelah serangkaian diskusi dan perizinan, pembangunan dimulai tahun 2008. Setahun setelahnya, selesailah bangunan masjid yang lokasinya berjarak 300 meter dengan Stasiun JR Hakozaki. Hanya lima menit berjalan kaki dari pintu keluar barat stasiun. Lokasinya sangat strategis bukan?


Masjid Fukuoka berhasil menjadi cahaya di Pulau Kyushu. Benar adanya bahwa nama adalah doa. Di dalam Islam, nama bukan sekadar penanda. Nama adalah doa bagi diri dan kehidupannya. Seperti kata Al Nour yang tersemat pada nama Masjid Fukuoka, bermakna cahaya. “Nour” adalah “Cahaya”. Diharapkan Masjid Fukuoka dapat memberikan pencerahan tentang Islam kepada masyarakat Jepang di Pulau Kyushu. Masjid Fukuoka berhasil menjembatani dan mencerahkan masyarakat Fukuoka khususnya, baik muslim maupun nonmuslim.