japanalivestory

Bonus Demografi Indonesia

Judul tulisan ini, jika saya panjangkan, akan menjadi demikian. “Bonus Demografi Indonesia, Atau Justru Menjadi Beban Demografi?”

Baik, saya akan memulai dengan sebuah kisah singkat.

Ada suatu negeri yang minim kelahiran bayi. Negeri itu berada di bagian bumi paling timur. Dialah Jepang. 

Berkebalikan, di sebuah negeri yang sama-sama berada di timur juga, memiliki jumlah kelahiran bayi yang cukup fantastis. Hampir setiap hari di negeri itu ada 10.000 kelahiran bayi baru. Negeri itu ialah Indonesia.

Sebuah kondisi yang sangat kontradiktif, Jepang-Indonesia. Dengan jumlah populasi penduduk yang melimpah, Indonesia mau apa? Barangkali pertanyaan ini perlu kita berikan kepada setiap warga negara Indonesia yang lewat, agar mereka tersadarkan bahwa sepuluh tahun mendatang, jumlah usia produktif Indonesia meningkat tajam.  Sebuah problem yang menghantui Indonesia.

Jepang, dengan populasi penduduk usia produktif sebanyak 60% dan terus menurun, tentu membawa problem tersendiri untuk Jepang.

Mari kita flashback sejenak. Jepang di tahun 1800-an, menjadi negara dengan jumlah angka kelahiran yang bisa dikatakan normal. Rakyatnya beranak pinak dengan baik. 

Jepang terkenal akan kerja kerasnya. Tokoh dalam film Oshin jelas sukses menggambarkan etos kerja orang Jepang yang sanggup menantang dunia meskipun badai salju sekalipun. Kerja keras Jepang dibuktikan dengan adanya otomatisasi di segala bidang. 

Jika berkunjung ke Jepang akan kita temui mesin-mesin otomatis tanpa bantuan manusia. Mesin itu bisa membuat kopi, menyajikan sushi, melayani pembeli yang memerlukan minuman, melayani pembelian tiket kereta, dan beragam mesin otomatis lainnya. Bisa jadi Jepang kini sedang mempersiapkan aneka robot canggih yang kelak akan menggantikan kinerja manusia.

Otomatisasi dilakukan untuk mempermudah kehidupan manusia. Dampak dari memacu teknologi, memacu kemajuan negara lewat otomatisasi membuat orang Jepang bekerja keras. Hasilnya memang sangat mengagumkan, seperti perputaran ekonomi yang cepat, hingga kemajuan industri. Namun ada satu hal yang miss atau hilang diantara prestasi Jepang yang gemilang. Yaitu esensi manusia untuk menghasilkan keturunan, menjadi tertekan. Terutama setelah ada kebijakan wanita Jepang pun kalau bisa bekerja keras juga membantu percepatan negara. Meskipun dulu saat Restorasi Meiji, Jepang memegang prinsip filosofis bahwa wanita harus menjadi ibu yang baik dan bijaksana di rumahnya (tidak bekerja di ranah publik). Seiring perkembangan zaman, filosofis wanita Jepang ini pun lama kelamaan hilang dan wanita Jepang harus juga keluar dari fitrahnya.

Fenomena ini yang paling menghantam demografi Jepang. Bisa dikatakan, kerja keras menghasilkan otomatisasi Jepang yang akhirnya lupa beranak.

Jepang kental akan kemandiriannya sejak dulu. Sehingga meskipun sang wanita bekerja di luar, mereka tak butuh asisten rumah tangga. Kerja domestik iya, mengejar karir juga iya.

Kerasnya dunia kerja mengakibatkan banyak orang Jepang memutuskan untuk tidak usah punya anak saja. Bagi wanita, berat memang, bekerja di ranah publik dan juga mengurus wilayah domestik. Maka wanita Jepang, kemudian memutuskan tak usah menikah karena hanya akan menambah keribetan bagi diri pribadi. Dengan menikah, konsekuensinya, pasti akan beranak, dan itu mengganggu karir mereka. 

Kerasnya tuntutan hidup di Jepang juga turut mempengaruhi jumlah anak. Hidup di Jepang memerlukan biaya cukup tinggi, membuat keluarga Jepang collaps. Wanita Jepang yang tadinya menganggap menjadi ibu rumah tangga adalah keharusan, kini berubah total menjadi wanita karier. 

Sekarang Jepang sedang ternganga dengan hasil kerja rodi selama ini, yang turut mempekerjakan wanita di ranah publik. Mereka tercengang bahwa angka kelahiran sangat minim. Berbagai stimulus diberikan oleh pemerintah Jepang, demi memancing agar remaja-remaja Jepang mau menikah dan punya banyak anak. Stimulus juga diberikan pada pasangan yang sudah memiliki anak, diberikan tunjangan hidup per bulan. Namun bagaimana akan punya anak jika tuntutan hidup tetap tinggi? Bagi orang Jepang, stimulus dari pemerintahnya tersebut masih kecil. Juga bagi orang Jepang, karena biaya hidup tinggi, tidak cukup jika hanya satu orang saja yang bekerja. Bagi wanita muslimah barangkali hal ini bisa ditepis karena ia memiliki jiwa qanaah, menerima berapa pun pendapatan suami. Namun bagi orang yang belum mengenal islam, bagaimana cara mendatangkan sifat qanaah ini? 

Sebagai gambaran. Sewa rumah di Jepang, dengan apartemen standar (biasa) di kota Fukuoka, bisa mencapai 80.000 yen atau setara dengan 11 juta rupiah. Ini belum di wilayah Tokyo metropolitan, yang bisa mencapai 200.000 yen hanya untuk sewa rumah yang biasa saja (bukan mewah). 

Problem yang dialami Jepang, tidak lantas membuat mereka berdiam diri. Mereka sudah persiapkan solusinya. Ya dengan semakin banyak terciptanya otomatisasi tadi ternyata malah justru menjadi jawaban atas problem rendahnya jumlah usia produktif masyarakat Jepang. Sedikit manusia namun sudah ada mesin dan robot yang bekerja. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah kita mempersiapkan bonus demografi yang sebentar lagi akan kita hadapi? Sejujurnya kita sedang mendapatkan bonus atau justru mendapatkan beban? Banyaknya manusia tentu akan banyak pula sandang pangan dan papan yang diperlukan. Tentu berimbas pula pada ketersediaan lapangan pekerjaan yang semakin minim. 

Akar utama untuk menyelesaikan problem ini, menurut saya bisa dimulai dari keluarga kecil terlebih dahulu. Setiap pasangan hendaknya secara sadar bahwa memiliki anak, melahirkan anak tidak hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan tetangga, “Berapa jumlah anakmu?” Namun lebih dari pada itu, anak adalah amanah yang harus ditanggung orang tua. Ada kewajiban menafkahi, juga terutama kewajiban mendidik hingga ia bisa mandiri secara akal dan finansial. 

Sekarang mari kita tanyakan pada diri kita sendiri sebagai orang tua. Sudahkan kita mendidik anak dengan baik? Atau justru kita menganut laundry parenting? Ibarat laundry, ya kita titipkan saja anak di sekolah, dari pagi hingga sore, pulang ke rumah sudah wangi tanpa perlu kita apa apakan lagi. Sekarang fenomena yang terjadi di Indonesia, sekolah dijadikan sebagai ajang “titipan” sehingga orang tua banyak yang lepas tangan. Merasa sudah membayar di sekolah, lalu alpa mendidik anak di rumah. Padahal pendidikan utama seorang anak ya didapat dari rumah, pendidikan dari ibu dan ayahnya. Alhamdulilah sekarang pandemi, anak-anak kembali “bersekolah di rumah”. Barangkali ini teguran dari sang Pencipta agar kita mau memaknainya.

Ibarat kata, kondisi pandemi ini membuat orang tua dan anak bergerak terbatas. Orang tua harus intens mendampingi langsung ke anak yang sedang bersekolah di rumah saja. Otomatis dari sisi waktu juga orang tua harus menyediakan waktu khusus. Bagi orang tua, bisa jadi kondisi sekolah di rumah ini adalah beban yang bertambah. Jika dulu, mereka bisa me time saat anak bersekolah, kini tidak lagi. 

Maraknya penggunaan game juga menjadi concern utama untuk orang tua Indonesia masa kini. Banyak anak bukan lantas anak dibiarkan bermain bersama game-nya. Atau ibarat game itulah pengasuh anak kita. Padahal jika kita mau berpikir lebih dalam, pencipta game itu punya tujuan untuk apa? Bagi saya, tentu merusak generasi. Dajjal tahu, siapa pasar utama game. Ya tentu negara-negara dengan jumlah populasi terbesar.

Ada dua sebenarnya dampak negatif dari gadget dan teknologi selular bagi anak. Pertama, gadget ada gelombang elektromagnetik, kedua sinar biru dari layar. Nah kenapa gelombang elektromagnetik? Jika anak terpapar lama oleh gelombang ini, maka bisa mengganggu efisiensi penangkapan informasi di otak, dan bisa berakibat permanen. Sinar biru bisa mengganggu circadian rhythm anak, dan dampaknya juga permanen dampaknya. Jika siklus alami tubuh ini terganggu, maka jam biologi anak juga pola hidupnya turut berubah. Anak jadi shifting semakin malam, tidur terlalu larut, begitu pagi dia berat untuk bangun pagi. Lebih lanjut, anak jadi lebih pemalas, sekolah berantakan. 

Adanya gadget yang berlebih, mengakibatkan energi fisik dari anak tidak termanfaatkan 100% di kehidupan harian anak. Waktu malam energi masih berlebih. Padahal anak itu fitrahnya ya bermain fisik. Kalau sudah main fisik kan capek. Berkebalikan saat seharian main gadget, malam masih full energi, tidur lambat, pagi susah bangun, dan seterusnya. Sebagai catatan, media saat malam sebenarnya kan restricted, jika anak tak kunjung tidur di malam hari, jadi nonton yang bukan-bukan. Jadi dia masuk ke jam kehidupan malam, waktu pagi dia tidak fresh. Ya memang seharusnya anak itu habis di aktivitas fisik. Capek, ngantuk lalu tidur. Tidur malam yang panjang, bangun pagi fresh. Jadilah ia sebagai manusia produktif. 

Sebenarnya boleh kok bermain game asal digunakan sebagai sesuatu yang positif. Sebelum anak kenal game, pahamkan dia apa fungsi game. Jika akan berselancar di internet, pastikan anak akan mengambil sesuatu yang positif. Dampak yang telah disebut di atas tadi, apakah anak paham jika tidak dijelaskan orang tua? Ya kalau cuma disodorkan, dibelikan gadget saja ya tentu tidak akan paham. 

Fenomena yang terjadi kebanyakan, game dan gadget diberikan pada anak namun tanpa ada penjelasan di awal. Hingga akhirnya saat anak sudah kecanduan, orang tua akhirnya menyesal. Ya menyesal yang tak tau arah. Akan diberhentikan atau tetap dilanjutkan? Kebanyakan  jawabannya ya tetap lanjut bermain gadget.

Bagaimana pun tidak bisa dipungkiri keberadaan game memang menggempur dengan deras anak  masa kini. Jika demikian yang terjadi, arahkan anak menjadi creator bukan hanya sebagai eksekutor. Arahkan ia sebagai pembuat, jangan hanya mau diperbudak sebagai penikmat saja. 

Dalam kajian Ahlan Ramadan yang disampaikan oleh Kang Ridwansyah Yusuf, problem-problem ini telah disebutkan. Indonesia sangat tertinggal dari sisi teknologi juga inovasi. Indonesia tertinggal dari sisi teknologi ya karena hanya sebagai konsumen/penikmat, bukan pembuat teknologi. Inilah tuntutan teknologi masa depan, maka generasi penerus harus bisa membuatnya.

Syeikh Imran Hosein dalam kajiannya memperingatkan jika anak terlalu banyak bermain game, ia akan terserang sisi tauhidnya. Ya bagaimana tidak, ia hanya terbiasa memakai, bukan membuat. Ia tak paham bagaimana sulitnya menciptakan. Maka banyak-banyaklah mengajak anak ke alam, mentadaburi keindahan alam ciptaan-Nya. Dari melihat alam, ia akan berpikir, siapakah yang menciptakan alam ini dan betapa susahnya membuat.

Jika orang tua memiliki jiwa mindfulness dalam mengasuh anak, seberapa pun jumlah demografi Indonesia, mau semakin bertambah banyak pun, Indonesia akan tersenyum di masa depan. Namun jika banyak anak namun tak memiliki kualitas yang terbentuk dengan baik, ya bisa apa? 

Mari kita tengok kondisi anak Jepang saat menggunakan gadget. Apakah mereka gadget freak seperti fenomena di Indonesia? 

Datang dan tinggal di Jepang sejak tahun 2019, membuat saya ternganga saat melihat anak-anak kecil generasi penerus Jepang masih asyik bermain di taman, berkejar-kejaran dengan temannya, bermain bola. Mereka tidak ada yang menundukkan kepala hanya untuk bermain game. Saat masuk ke tempat wisata, mereka asyik membawa kamera kecil untuk mengabadikan keindahan yang mereka temui. Sungguh pemandangan yang bagi saya sangat luar biasa. Negara ini pencipta teknologi layar handphone yang beraneka macam, namun generasi penerusnya tidak dibiarkan bermain gadget sembarangan.

Makanya kalau di Jepang itu untuk anak ada handphone khusus. Handphone yang layarnya masih monochrome. Kaget? Saya awalnya kaget sekali. Namun setelah saya telaah lebih dalam, saat handphone itu tidak pakai LCD maka tentu tidak memancarkan sinar biru yang membahayakan tadi. Beberapa malah masih jadul dengan menggunakan gelombang radio/intercom, bukan pakai jaringan seluler. Jepang sadar sekali bahaya ini. Mereka sangat concern untuk melindungi mata dan otak anak demi masa depan mereka. 

Menurut saya cara ini adalah cara apik Jepang dalam menjaga generasi penerus. Mereka tidak pesimis dengan jumlah penduduk usia produktif yang kian menurun. Justru mereka mensyukuri apa yang ada dan merawatnya. Jika pekerjaan teknis bisa dilakukan oleh robot, maka manusia yang jumlahnya minimal ini bisa memfokuskan diri pada hal-hal strategis yang pastinya tidak bisa dikerjakan oleh robot. 

Selain masalah gadget tadi, di Indonesia ada budaya yang mengakar. Meskipun bukan budaya yang 100% buruk. Banyak anak di Indonesia seringkali dimaknai untuk balas budi. Orang tua sudah melahirkan, membiayai, mendidik, lalu meminta anak balik modal. Hal ini perlu diluruskan. Kita sebenarnya punya anak buat apa? Anak bukan dituntut untuk membalas budi orang tuanya loh. Ya memang sudah kewajiban orang tua mendidik, membiayai anak. Siapa juga yang mengharapkan anak lahir ke dunia? Jelas orang tua yang terlebih dahulu harus mempertanggungjawabkan pada Allah, sebelum si anak. Yakin saja, jika kita menjadi orang tua yang benar dan saleh, tanpa perlu menuntut pada anak, maka Allah sang penggenggam jiwa anak pasti mengganjar kesalehan kita kok. 

Kembali saya menengok Jepang yang lebih “nothing to loose” saat punya anak. Maksudnya begini. Saya sering melihat kakek atau nenek Jepang berjalan sendirian. Tentu dengan kondisi khas orang tua. Bungkuk, dengan tongkat, jalan lambat, memakai kursi roda. Apakah nenek kakek ini ada temannya saat berjalan? Tidak, mereka hidup sendiri. “Dimanakah anaknya, tega sekali ya?” Mungkin itu bayangan kita sebagai orang Indonesia. Jepang menganut prinsip kemandirian dan privacy yang sangat tinggi. Sehingga orang tua Jepang tanpa perlu menuntut anak untuk menemani masa tua mereka. Dalam sudut pandang tertentu ya positif. Budaya setiap negara pasti berbeda. 

Akibat kondisi Jepang ini, maka pemerintahnya menanggung beban pensiun dan asuransi kesehatan yang tinggi, juga fasilitas untuk elderly banyak ditanggung pemerintah Jepang. Ya, akibat “nothing to loose” Jepang tadi, anak tidak perlu merawat orang tua (bagi sebagian orang). Pemerintah Jepang jadi harus mengurus ini semua. Jika hal ini tidak diurus tentu akan jadi masalah sosial yang besar bagi Jepang. Ada kerjasama Indonesia-Jepang agar dapat perawat untuk elderly.

Kondisi yang berkebalikan dengan di Indonesia, bukan? Pemerintahnya tak perlu mengurus elderly. Karena adanya prinsip di Indonesia bahwa anak lah yang harus merawat orang tua. Jika ditelisik lebih dalam, beban pemerintah Indonesia ringan, bukan? Tidak perlu mengurus usia non produktif ini.  

Sebenarnya Indonesia itu hebat jika mau mengurus hal-hal yang penting saja. Faktanya yang diurus malah justru hal tidak penting. Seperti meributkan hal-hal yang tidak perlu. Kasus saat pandemi misalnya. Shaf salat direnggangkan jadi dipermasalahkan, salat pakai masker diributkan. Padahal jelas dalam islam, jika ada wabah ya salat di rumah, tidak apa salat memakai alat pelindung, seperti masker. 

Menengok Jepang di era pandemi, kita lihat taatnya orang Jepang menggunakan masker. Orang Jepang banyak yang menggunakan logika, bukan baper-baperan dan adu kebenaran. Karena pandemi ya taat patuh pakai masker. Tidak pandemi saja mereka logis, pakai masker supaya kalau bersin tidak mengenai kawan di sebelahnya.

Mari kita buat Indonesia tersenyum. Indonesia, bangkitlah, urus yang penting saja, jangan hanya basa basi. Kita hadapi bonus demografi dengan optimisme. Mengarahkan anak-anak balita kita menjadi creator-creator handal. Supaya bonus demografi ini banyak membawa kebermanfaatan pada umat, bukan malah meresahkan.

Kembali saya menengok Jepang bangkit dari keterpurukan. Apakah Jepang ini langsung menjadi negara maju? Tidak! 

Butuh hampir satu abad, 100 tahun untuk meluruskan mental rakyat Jepang kala itu tahun 1800-an. Mental dulu yang diluruskan baru kemudian membangun fasilitas negara. Sama ya dengan Indonesia yang pernah rusak. Namun Jepang mau bangkit, hingga akhirnya menjadi macan asia. 

Konon saat itu, kaisar yang sedang memimpin, menginginkan negaranya maju, beretika seperti negara Eropa yang banyak diceritakan oleh VOC yang memang sudah ada di Jepang selatan. Jadi memang kehadiran VOC di masa itu sudah tersebar kemana-mana, termasuk Indonesia. Namun khusus di Jepang, VOC tidak bisa menyusup sampai ke seluruh wilayah Jepang, sama kaisar hanya diperbolehkan di wilayah selatan saja. Perjanjiannya kala itu, VOC boleh di wilayah selatan Jepang, tapi syaratnya VOC harus memberi kabar tentang kondisi dunia luar.

Nah karena kaisar ini mendapat informasi bagus dari VOC tadi, kaisar Jepang punya keinginan kuat agar Jepang bagus juga seperti negara Eropa. Maka disusunlah misi keliling dunia, sowan ke negara-negara maju. Misi Iwakura memakan waktu hampir dua tahun dengan kapal laut. Diawali dari Jepang, Amerika, Inggris, Belanda, Perancis, Turki, Arab, India, Indonesia (kerajaan Sriwijaya masa itu), Malaysia, Thailand dan kembali lagi ke Jepang. Namun sebelum Misi Iwakura, di tahun 700 M di awal, Jepang sudah berguru pada China. Dari perjalanan keliling dunia tadi, kaisar banyak belajar. Lalu menerapkan apa yang ia dapat secara positif dari hasil keliling dunia. Mereformasi seluruh budaya Jepang yang sudah tidak relevan, dan lain sebagainya.

Tak ada yang negatif dari kata meniru. Asal kita bisa mengmbangkan dan menyesuaikan dengan keadaan. Jepang pun meniru negara maju di Eropa pada masa itu, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Prinsip kaisar di tahun itu, ya meniru yang sudah terbukti sukses lebih baik daripada harus meramu strategi baru yang belum jelas keberhasilannya. Hasilnya? Jepang seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. 

Jika Jepang butuh 100 tahun untuk bisa maju, Indonesia bisa juga ‘kan? Saya berharap, Indonesia di usia 100 tahun bakal bagus juga seperti perjuangan Jepang membuat bagus negaranya. 

So, konklusinya, menurut saya, mau jumlah usia produktif melimpah atau sedikit, kata kuncinya itu ya kualitas manusia. Karena kalau tidak diisi mentalitas yang bagus, malah membenani negara dan pembangunan. Jangan sampai, bonus demografis yang hanya memiliki jiwa konsumtif. Jadikan bonus demografis ini sebagai manusia yang produktif. 

Ditulis oleh Alvika Hening Perwita, ibu dua anak, tinggal di Jepang. Berkarir sebagai dosen Ilmu Komunikasi selama sepuluh tahun lalu resign dalam rangka mengikuti suami yang sedang tugas studi lanjut di Kyushu University. Aktivitasnya kini selain menulis, juga mengelola online shop. Ia sangat concern pada pendidikan anak dan keluarga. Vika, nama panggilannya, dapat disapa melalui instagram @heningperwita.

Standard

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s