Sebelum membahas lebih dalam, saya akan memulai dahulu dengan perumpamaan. Misalnya begini.
Pernah lihat Taufik Hidayat main badminton, ‘kan? Wih, jago banget ya. Terus pernah ada rasa pengin bisa badminton kayak dia?
Mas Taufik itu, masa kecilnya kerap diajak ayahnya bermain bulu tangkis di GOR Pamor, Pangalengan, Jawa Barat sejak ia berusia 7 tahun. Dari situlah Mas Taufik yang juara dunia, mulai tertarik dengan olahraga badminton.
Lah kita?
Paling main badminton di halaman depan rumah, ya ‘kan?
Maksud saya gini. Lihat Mas Taufik itu seperti lihat orang Jepang yang masih saja hobi baca di tengah gempuran teknologi masa kini.
Mereka dari kecil sudah dibiasakan. Lingkungan juga mendukung. Di kereta, di taman, di food court mall adalah tempat yang lumrah bagi mereka membaca buku.
Di ruang tunggu dokter anak juga disediakan rak buku beserta isinya. Di dekat taman bermain, kadang juga ada rak buku yang bebas boleh dibaca warga. Perpustakaan keliling juga disediakan.
Perpustakaan kota (Madokapia Toshokan) turut menyumbang buku untuk sekolah SD.
Tak kalah dengan public space, sekolah juga punya ruang perpustakaan yang memadai. Dengan fasilitas buku yang beragam, penuh warna mampu menghipnotis anak untuk berlomba-lomba meminjam buku dari perpustakaan.
Sensei / guru turut serta menstimulus murid untuk meminjam buku. “Ayo, pinjam buku yang banyak,” begitu kata sensei. Kegiatan ini rutin dilakukan seminggu sekali, bergilir tiap kelas. Anak-anak juga berkewajiban menata kembali buku ke dalam rak. Jadi bukan tugas penjaga perpustakaan yang mengembalikan buku ke rak.
Di dalam kelas juga tak kalah seru. Rak buku menjadi hiasan wajib di kelas. Ada rak buku utama juga rak buku dari perpustakaan kota.
Kegunaan buku di kelas ini fungsinya untuk membungkam murid agar tidak berisik saat ada murid yang sudah selesai mengerjakan tugas. Daripada anak-anak ini berisik mengganggu kawan sebelah yang belum selesai mengerjakan tugas ya sensei punya akal agar mereka membaca buku yang ada di rak kelas saja.
Jadi memang anak-anak Jepang sudah dibiasakan sejak dini untuk dekat dengan buku. Meskipun pinjam buku hanya dilihat gambarnya, tak apa. Setidaknya anak ini sudah tertarik dulu dengan buku.
Kira-kira kita kalah start enggak dengan mereka? Saya rasa iya. Masa kecil saya tidak begitu, heu. Paling mentok pinjam majalah Bobo punya teman.
Tapi jangan sedih dulu. Kita tetap bisa kok membiasakan diri membaca buku. Paksain aja membaca buku yang membuat kita tertarik.
Kayak anak kecil umur enam tahun yang bakalan memilih buku full colour dan banyak gambar dibanding dengan buku full text. Kita juga seperti itu, pilih mana yang kita suka, lama-lama akan biasa.
Kalau ada yang bully? “Eh, ngapain baca buku, kayak orang pintar aja.” Hal yang biasa ya di Indonesia, ngurusin orang. Ya pakai kacamata kuda aja sih. Ora usah digagas, kalau kata orang Jawa. Atau sabodo teuing kata orang Sunda.
Saya pernah dulu jaman kuliah, suka curi-curi ke perpustakaan tanpa memberi tahu teman, ya supaya enggak di-bully. Karena saya punya misi untuk segera menyusun skripsi di semester delapan. Di saat teman-teman masih asyik mengerjakan film dokumenter, saya memilih keduanya : skripsi iya, film dokumenter juga jalan.
Pengalaman saat anak saya lebih suka baca buku ketimbang main gadget, ya jadi kayak anak aneh di TK-nya dulu di Indonesia. Lagi-lagi saya pasang kacamata kuda.
Dari sisi behaviour sudah jelas berbeda antara Indonesia – Jepang. Orang Jepang bisa teratur merapikan kembali buku yang sudah dipinjam tanpa harus menyuruh petugas. Orang Jepang memilih diam tidak mengurus hal yang bukan ranahnya. Orang Jepang lebih memilih tidak banyak bicara di dalam kereta. Sekadar basa-basi dengan penumpang sebelah, it’s a big no.
“Daripada berisik, mending baca buku,” mungkin begitu pikir mereka. Itulah mengapa, di Jepang membaca buku adalah hal yang biasa.
Saya mengenal Jepang sebagai negara yang segera bangkit walau tertatih. Tahun 1945, dua kota mereka lumpuh oleh bom atom. Tak sampai 20 tahun (1964), mereka berhasil meluncurkan kereta cepat shinkansen yang pertama, bertepatan dengan event Olimpiade, menghubungkan Tokyo – Osaka.
Sama halnya dengan gempuran gadget saat ini. Tidak membuat mereka lantas menjadi gadget freak. Generasi mudanya dari usia SD ada program yang bernama “No Media Day”. Anak dikontrol berapa lama pakai gadget dalam sehari dan sudah baca buku apa saja dalam sehari itu.
Jadi bisa bikin gadget tak serta merta membuat mereka terlena dan tetap melanjutkan membaca buku di mana pun berada.
Saya ada cerita cukup menyentuh dari anak Jepang, kawan bermain anak saya.
Mereka saat itu sedang di taman, bermain bola atau menangkap serangga. Saat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, si anak ini pamit ke anak saya mau pulang duluan. Katanya mau pergi ke Madokapia (perpustakaan kota) bersama ayahnya.
Saat anak saya pulang ke rumah dan bercerita, saya langsung mak deg. Ya ampun, anak Jepang ini, ditemani ayahnya ke perpustakaan. Bermain baginya tak hanya di taman, perpustakaan juga menjadi tempat yang nyaman.
Oh ya, ada hal penting yang saya analisa, ternyata berperan cukup penting dalam mengajarkan “apa makna isi buku yang dibaca”.
Mereka diajarkan untuk memahami sebuah bacaan lewat mendongeng dan pertanyaan kritis. Kokugo, nama pelajarannya di sekolah Jepang. Bisa diartikan Japanese lesson yang tak hanya mencakup belajar huruf kanji, tapi juga ada mendongeng (read aloud dengan moral story) kisah penuh hikmah yang mengasah empati anak.
Di akhir sesi mendongeng itu, biasanya sensei akan menanyakan, “Bagaimana perasaan kamu saat jadi mereka?” Lalu anak-anak ini akan mengacungkan jari, menunggu ditunjuk sensei. Mereka dengan semangat berpendapat di hadapan kawan-kawan sekelas.
Kata Ibu Rossie Setiawan pakar membacakan nyaring (read aloud) sih gini. Dalam proses mendongeng atau membacakan anak buku itu, ada proses anak bertanya. “Mengapa begini, Ma?” atau “Kok dia begitu sih?”.
Dalam proses ini anak akan belajar proses bertanya. “Kita ini di sekolah kurang diajarkan untuk bertanya. Kita hanya diajarkan untuk menjawab pertanyaan. Padahal menjawab pertanyaan, apalagi yang jelas-jelas sudah ada di buku, itu sangat lah mudah,” terang Ibu Rossie.
Jadi jangan mematahkan semangat anak dengan mengatakan, “Cerewet banget sih, Nak, nanya-nanya melulu.”
Sekarang sudah tahu ‘kan teman-teman, resep rahasia orang Jepang yang suka baca buku dimana pun berada?
Start-nya aja mereka sudah lebih duluan. Dari mulai awal masuk SD. Lingkungan sekitar juga andilnya cukup besar.
Sementara pendidikan dasar kita dulu, ya bisa dikatakan tidak menstimulus untuk baca buku, tapi tak ada kata terlambat kok.
Jadi action plan-nya apa, agar kita juga suka membaca?
* Siapkah teman-teman untuk membawa dan membaca buku di tempat umum? Daripada main gadget saat menunggu lebih baik baca buku.
* Siapkah teman-teman untuk diet gadget dan membuat daftar buku apa saja yang dibaca di hari ini? Jika anak Jepang bisa, kita pun si dewasa ini juga bisa.
* Siapkah teman-teman untuk menjadi si kutu buku meskipun lingkungan di Indonesia tidak mendukung? Ya bisa jadi kena bully lantaran rajin membaca buku.
* Siapkah teman-teman untuk memilih buku di banyak platform online (gramedia, ipusnas) atau membeli buku? Layaknya anak Jepang yang diajak untuk rajin ke perpustakaan sekolah seminggu sekali.
* Siapkah teman-teman untuk beropini atas buku yang telah dibaca? Jika anak Jepang punya kokugo, kita juga bisa beropini, let’s go! Bisa dimulai dengan membuat review atas buku yang sudah kita baca.
Silakan pertanyaan ini dijawab pada diri masing-masing.
“Meniru yang sudah terbukti sukses lebih baik daripada harus meramu strategi baru yang belum jelas keberhasilannya.”
Tak ada yang negatif dari kata meniru. Asal kita bisa mengembangkan dan menyesuaikan dengan keadaan.
Prinsip kaisar Jepang pun juga meniru negara maju di Eropa pada tahun 1800-an, yang kemudian disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Hasilnya? Jepang seperti yang bisa kita lihat sekarang.
Sebagai closing, saya ingin menegaskan agar kita jangan membandingkan ya. Kadang kita enggak adil dengan diri kita sendiri, membandingkan dengan orang yang lebih start duluan. Membandingkan kebiasaan orang Jepang dengan kita. Proses dia membiasakan membaca di negaranya sudah puluhan tahun lalu atau bahkan lebih, sudah perbaikan banyak, sedang kita baru memulai. Ya jadikan motivasi saja. Kalau dia bisa, berarti aku juga bisa.
Optimis ya!