Lihat IG story kenalan di IG, sama-sama tinggal di Jepang. Beliau bilang, lah aku ini kan tinggal di negara child free, bahkan istri free juga suami free.
Batinku, lah iya juga yak, kemana aja owe kok enggak sadar.
Aku enggak sadar soalnya tetanggaku disini banyak yang punya anak. Taman bermain masih ramai. Sekolah masih beroperasi normal, tidak seperti wilayah Jepang yang lain sampai tutup sekolahnya saking nggak ada kelahiran bayi.
Sekolah anakku masih penuh. Kelas satu aja ada empat kelompok, per kelompok 30 anak. Berarti di Fukuoka wilayah tempat aku tinggal ini masih pada mau meneruskan keturunan. Ibu Jepang kenalanku aja anaknya tiga. Terus, sensei suamiku juga anaknya empat.
Punya anak itu enggak gampang. Ya hamilnya, ya melahirkannya, ya merawat juga mendidiknya butuh effort. Aku aja pernah nge-halu, seandainya perut ini ada resletingnya gitu, tinggal dibuka lalu anak keluar. Halu yang aku omongin pas melahirkan Faira, operasi caesar yang kedua. Pedih kalau diingat sakitnya lahiran itu.
Tapi ya masa Allah diamkan aja tanpa dikasih reward?
Bagiku punya anak itu asyik, jadi banyak belajar, juga memperbaiki diri. Bisa diuwel-uwel bocahnya, menggemaskan banget. Perkara balasan di akhirat itu sudah haknya Allah. Tapi kalau mau dijabarkan, bikin ngiler, ya enggak sih? Kayak balasan seorang ibu yang menyusui anaknya, balasan orang tua yang berhasil membuat anak saleh dan seterusnya.
Kalau ada yang punya anggapan child free ya suka-suka dia. Toh aku juga enggak ngerti kesulitan dan kekhawatiran apa yang dia punya. Apalagi hidup di negara self service macam Jepang, yang apa-apa dikerjakan sendiri. Kalau ada tenaga kerja masuk aja, bukan dijadikan pembantu atau baby sitter di rumah-rumah macam di negara Arab, tapi malah buat mengisi industri mereka.
Dulu Jepang hobi punya anak banyak. Wanitanya memang pada fitrahnya, ya di rumah mengurus keluarga. Bahkan sampai ada filosofinya : Ryosai Kenbo. Tapi seiring adanya kebijakan pemerintah Jepang buat meningkatkan percepatan ekonomi, maka perempuan Jepang di-push buat bekerja. Ya otomatis jadi enggak pengin punya anak, wong udah capek kerja di luar.
Sulit lho perempuan itu kalau jadi wanita karier dan masih harus urus rumah plus meneruskan keturunan. Pakai pembantu aja masih ngos-ngosan apalagi kayak Jepang ini tanpa pembantu. Aku sudah merasakan semua. Karier pakai pembantu pernah. Karier tanpa pembantu juga iya. Stay at home mom pakai pembantu pernah, stay at home mom tanpa pembantu juga iya pernah banget. Tahulah semua rasanya.
Jepang aja sekarang kewalahan, enggak punya banyak generasi muda. Pekerja banyak didatangkan dari Indonesia, Bangladesh, Pakistan.
Sedih lho jadi Jepang, negaranya maju tapi siapa yang akan mewarisi wong generasinya habis? Makanya pada belajar Bahasa Jepang, besok kita penuhi Jepang dengan anak-anak kita, heu. Canda.
Tapi Jepang kemampuan agility-nya bagus. Kelincahan untuk berubah dan menemukan solusi dari sebuah masalah. Robot otomatis sudah banyak bekerja di Jepang.
Sudah mapan, enak bekerja jadi sulit buat ajak mereka married, apalagi sampai punya anak. Banyak subsidi yang digelontorkan pemerintah Jepang buat menstimulus warganya supaya mau beranak. Saking banyaknya subsidi, kita-kita yang foreigner ini kecipratan.
Belum masalah urus rumah. Capek ‘kan tanpa pembantu? Jadi ya kompleks sih masalah ini. Apalagi kalau enggak punya iman, enggak punya pegangan ada Allah, sulit buat mau punya anak.
Aku juga enggak memungkiri kadang kita pengin menunda punya anak, tapi lingkungan terus menekan supaya segera beranak. Kayak aku ini aja, anak udah dua : laki dan perempuan, masih aja ditanya kapan nambah? Emang situ mau bantu ngerawat? Suka heran sama orang yang nanyain kayak gini.
Sudahlah tanggung jawab moral punya anak itu berat, karena amanah, masih dibombardir hal seperti ini.
Apapun keputusanmu mau child free atau memiliki keturunan ya mindfull aja, dikerjakan dengan sadar. Punya anak ya dirawat yang baik, jangan cuma asal balapan banyak anak, asal titip sana sini. Jangan sampai anak diminta balas budi karena orang tua sudah merawat anak sejak bayi. Ya nggak gitu juga, wong orang tua sendiri yang minta anak lahir kok bisa-bisanya si anak yang diintimidasi suruh balas budi. Kan sudah kewajiban jadi orang tua. Lagian siapa juga yang enaq-enaq. Kalau benar jalanin kewajibannya, yakin Allah enggak tinggal diam, menggerakkan hati anak buat balas budi otomatis ke orang tua. Doa untuk orang tua masih ingat kan, “Kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil.” Nah! Orang Jepang tuh punya anak nothing to lose. Sudah tua enggak ditengok sama anak ya mereka legowo aja walau pasti ya sakiiiiit.
Pernah kepikiran enggak kita punya anak buat menyenangkan orang lain? Bisa jadi menyenangkan suami, menyenangkan mertua, menyenangkan orang tua? Aku pernah di posisi itu. Pasca menikah, aku sebenarnya mau fokus tesis dulu, punya anak entar dulu. Suami kasih perspektif lain, kalau ditunda jatuhnya ya sama aja, malahan entar tambah tua anak masih kecil, lagian punya anak duluan, tesis juga bakal kelar, katanya gitu. Ibu mertua tidak melarang tapi juga beri pendapat. Kata beliau waktu itu, enggak apa-apa nanti ibu bantu, toh dulu ibu juga masih koass waktu anak-anak balita. Ibu semacam beri contoh, kamu bisa kok, sembari kuliah sekalian ngasuh anak. Mama aku juga jelas enggak kasih lampu hijau. Kata beliau, kamu bisa kok ngerjain tesis sambil punya anak. Aku paham dengan alasan mereka. Karena anak yang belum aku proses ini bakalan jadi cucu pertama buat mereka semua. Jadi aku menghargai mereka aja gitu. Bikin mereka bangga dan bahagia dengan kehadiran cucu. Akhirnya ya sudahlah aku tak tunda lagi. Toh kalau kesulitan pegang bayi pas ngerjain tesis, masih ada mama dan ibu mertua, pikirku waktu itu. Lagian ada suami, kenapa harus takut?
Kalau enggak mau punya anak ya udah itu keputusanmu enggak usah bujukin orang lain gitu, bisa? Oh ya, jangan lupa kalau program kayak gini perlu dicurigai, biasanya ada embel-embel isme-nya. Feminisme misalnya, heu. Kalau aku sih masih percaya laki-laki dan perempuan itu sama dalam hal mencapai derajat ketaqwaan, bukan harus sama dari sisi mengejar karier. Karena gimana pun kodratnya sudah jelas beda. Istri mengejar karier dibarengi dengan punya anak? Lebih berat!